Sabtu, 27 Maret 2010

Sopir Biadab

Cerita Panas.Malam itu aku sendirian di rumah, ayahku sedang di kantor sedangkan ibuku sedang ikut seminar yang ada hanya aku dan sopirku yang sekaligus sebagai pembantu di rumahku. Nama sopirku Toni, usianya 35 tahun dan ia sudah menikah tetapi istrinya tinggal di kota lain.

Aku merasakan kecapekan setelah seharian aku jalan-jalan dan aku ingin sekali tidur tetapi entah mengapa aku tidak bisa memejamkan mataku ini lalu aku mempunyai ide untuk menelepon temanku Dita untuk aku ajak ngobrol melalui telepon. Telepon Dita angkat awalnya kami ngobrol biasa saja tetapi tidak tahu kenapa tiba-tiba Dita nafasnya memburu dan terdengar teriakan-teriakan juga suara seorang cowok yang seperti suara pacar Dita. Aku hanya memdengar suara-suara teriakan kesakitan tetapi juga seperti merasakan sesuatu kenikmatan dan teleponpun terputus dengan sendirinya.

Pikiranku melayang kemana-mana dan aku mulai memikirkan tentang seseorang yang sedang berhubungan badan. Aku semakin terangasang setelah mendengar suara Dita juga khayalanku sendiri dan akupun membuka kaos ketatku, bra, serta celana dalam aku meremas payudaraku dan memasukkan jariku ke vaginaku. Aku kocok vaginaku hingga aku pun menyapai orgasme ditempat tidur, aku merasa puas dan akupun memakai bajuku lalu merencanakan untuk pergi makan.

Aku cari sopirku kemana-mana tetapi tidak ada hingga aku temukan dia dikamar tidurnya, dia tertidur pulas dengan hanya mengunakan kaos tanpa lengan dan sarung. Aku mau membangunkan dia tetapi melihat dia tertidur pulas akupun mengurungkan niatku untuk membangunkan dia, kasihan dia kecapekan setelah mengantar aku seharian jalan-jalan pikirku.

Sebelum aku meninggalkan kamarnya mataku tiba-tiba tertuju pada tonjolan yang ada dibalik sarungnya sehingga membuat aku ingin mengetahui bagaimana wujud tonjolan itu. Aku beranikan diri untuk melihat tonjolan itu dari bawah lalu aku singkapkan sarungnya secara perlahan, aku terkejut melihatnya karena dia tidak memakai celana dalam sehinnga aku bisa melihat dengan leluasa penis yang agak berdiri dan membuat aku ingin memegang, mengelus, dan mengulumnya.

Aku ingin sekali memegangnya tetapi aku takut sopirku nanti terbangun dan dia akan marah terhadapku, dengan tangan yang gemetaran juga dingin dan jantung yang berdetak kencang aku beranikan diri untuk memegangnya. Aku singkapkan sarungnya lebih keatas dan akupun mulai memegangnya, terasa hangat dan membuat tanganku yang tadinya dingin menjadi hangat.

Aku semakin tertarik untuk menikmatinya lagi, aku elus berkali-kali penisnya hingga berdiri dan semakin panjang penis itu. Jantungku semakin berdetak kencang tetapi keinginanku untuk melakukan yang lebih lagi juga semakin besar maka ku putuskan untuk mencoba mengulumnya. Ku jilati serta memberikan gigitan kecil pada buah pelirnya yang berwarna kecoklatan hingga membuat aku makin bernafsu dan sedikit demi sedikit aku mulai menuju penis yang telah berdiri.

Aku masukkan secara perlahan terasa hangat yang disertai rasa asin dan masuklah penis itu sampai pada ujung tenggorokanku, aku coba masuk dan keluarkan sehingga membuat tubuhku mengeluarkan keringat yang di ikuti rasa gemetaran. Payudaraku terasa semakin membesar dan mengeras sehingga membuat braku terasa sesak juga vaginaku yang terasa mengeluarkan cairan. Akupun semakin tidak bisa menahan nafsuku yang sudah memuncak lalu aku semakin mempercepat kulumanku sehingga membuat penis sopirku licin karena liurku.

Di saat aku sedang keenakkan melakukan kuluman di penis sopirku tiba-tiba aku terkejut oleh teriakan sopirku dan mencabut penisnya dari mulutku. Dia lalu berdiri dan memarahi aku, dia merasa bersalah pada orang tuaku karena membiarkan aku melakukan hal ini, akupun tidak mau menyerah begitu saja dan karena aku tidak bisa menahan nafsuku lagi yang seperti mau meledak akupun mengancam sopirku dengan mengatakan pada ayahku bahwa aku telah diperkosa sopirku juga akan mengatakan pada istrinya kalau tidak mau melayani kenginanku. Dia ketakutan dan menyerah padaku, akupun tidak menyia-nyiakannya langsung saja aku melepas sarungnya dan aku jongkok didepannya. Kulihat wajah sopirku terlihat wajahnya menampakkan kesedihan tetapi aku tidak mempedulikannya.

Aku tidak peduli bagaimana perasaan sopirku, aku hanya ingin kenikmatan seperti yang telah temanku rasakan. Aku ingin membuat dia agresif terhadapku dan melupakan istrinya sesaat, karena keinginanku itu aku mulai melakukan rangsangan terhadapnya. Kukulum lagi penisnya yang telah lemas tanpa canggung dan takut lagi pada sopirku, kupercepat kulumanku sehingga membuat penisnya kembali berdiri. Aku sangat menikmati penis.

“Ehhmm.. Enak.. Ehmm” dan aku merasa bahagia karena membuat dia mulai terangsang yang mulai menunjukkan ke agresifannya. Sopirku mendesis menikmati kulumanku.
“Ough.. Terus.. Cepat.. Ouh Melda”

Hanya itu saja kata yang keluar dari mulutnya akupun semakin bersemangat dan semakin mempercepat kulumanku. Hingga beberapa kuluman penisnya terasa semakin membesar dan menegang juga disertai denyutan dan dia pun memegang kepalaku juga memcambak rambutku dengan kasar dia semakin memaju mundurkan kepalaku dan akupun semakin bersemangat karena aku tahu dia akan sampai.

“Ouhh.. Ouuhh aku sampai aku sampai Melda ough” dan keluarlah spermanya ke mulutku hingga mulutku tidak muat untuk menampungnya. Spermanya terasa hangat, asin, dan baunya membuat diriku ingin memuntahkan sperma itu dari mulutku tetapi dia menarik kepalaku lalu mencium aku. Ciumannya yang sangat bersemangat kepadaku membuat aku terpakasa untuk menelan spermanya untuk mengimbangi permainan bibir itu.

Aku merasa kerepotan untuk mengimbanginya karena baru kali ini aku dicium oleh cowok, dia terus mencium aku dan tangannya mulai menyelinap masuk ke kaosku. Tangannya menuju ke payudaraku, dia meremas-remasnya sehingga membuat nafasku semakin memburu yang disertai degupan jantung yang cepat. Dia semakin agresif dengan membuka kaos ketatku, rok, bra serta celana dalamku.

Terbukalah sudah apa yang selama ini aku tutupi, aku merasa risih karena baru kali ini aku telanjang dihadapan cowok sehinnga tangankupun secara spontan menutup vaginaku juga payudaraku. Tetapi karena nafsuku yang semakin memuncak maka aku biarkan tubuhku telanjang dan akupun dengan agresif melucuti kaosnya. Sekarang kita benar-benar telanjang bulat, kita saling berhimpitan sehingga penis yang telah mengacung itu menempel pada vaginaku. Aku ingin sekali merasakan penis itu masuk ke vaginaku dan aku telah mencoba memasukannya tetapi tidak bisa, dengan terpaksa aku hanya mengesekkan penisnya ke vaginaku dan itu membuat aku semakin bernafsu.

Setelah dia puas mencium aku dia menurunkan kepalanya menuju kaki, dia menciumi kakiku sampai ke vaginaku. Dia menjilati vaginaku, menyedot vaginaku dan juga memberikan gigitan kecil pada vaginaku sehingga membuat aku tak bisa menahan getaran tubuhku.

Semakin dia mempercepat jilatannya semakin keras pula erangan serta desissan yang keluar dari mulutku. Tanganku berpegangan pada kepalanya dan akupun menekan kepalanya serta mengangkat salah satu kakiku kepundaknya agar bisa semakin masuk ke vaginaku, jilatan dia membuat aku tak bisa lagi menahan tubuhku sendiri. Tubuhku melengkung ke belakang dan kepalaku medongak keatas yang disertai keringat yang semakin mengucur deras.

“Auhh.. Ouhh..”

Dia terus menjilati vaginaku sehingga membuat aku semakin tidak tahan “Ough.. Yes.. Ouugh.. Aku keluar” dan akupun mengalami orgasmeku yang pertama, aku merasa kenikmatan yang luar biasa karena baru kali ini kali mengalami orgasme bersama cowok. Sopirku menghisap-hisap vaginaku hingga terasa kering, nafasku yang tadinya memburu sekarang sudah mulai reda. Aku yang telah mengalami orgasme terasa badanku lemas tetapi sopirku masih saja semangat, dia mengendongku ke tempat tidur dan menjatuhkanku.

Dia bermain di payudaraku yang berukuran sedang putih bersih kemerahan, sopirku mengulum, menyedot, meremas dan juga menggigit-gigit payudaraku. Permainan mulutnya sanggup menaikkan kembali nafsuku, sopirku sangat menikmati payudaraku dan dia selalu memuji payudaraku yang kenyal dan kencang itu. Aku yang ingin kembali menikmati penis sopirku segera aku menggulingkan sopirku disampingku, aku menindihnya dengan vaginaku menghadap ke muka sopirku dan kita pun saling melakukan rangsangan. Aku kembali mengulum penisnya sedangkan dia menjilati vaginaku. Permainan lidahnya yang liar di vaginaku membuat tak kuasa menahan nafsuku yang mau meledak dan dengan segera akupun minta untuk memasukkan penisnya ke vaginaku dan diapun mengijinkannya.

Aku membalikkan badan dan sekarang penis itu tepat di bawah vaginaku, aku memegang penis itu dan mengarahkannya ke vaginaku tetapi aku tidak bisa memasukkannya terasa sulit walaupun vaginaku telah basah. Penis sopirku seperti tidak mau masuk penisnya selalu ke kanan atau ke kiri. Sopirku pun membantuku, dia memegang penisnya sedangkan tangan satunya menuju vaginaku dan memasukkan jarinya ke vaginaku, akupun terkaget dan berteriak “Ouhh”.

Jarinya maju mundur dan seperti mengaduk vaginaku, sopirkupun mengeluarkan jarinya lalu mencoba memasukkan penisnya ke vaginaku. Secara mengejutkan penis itu masuk dengan mudah, aku terkaget merasakannya lalu berteriak “Auhh.. Ough..”

Dan mataku melotot serta kepalaku mendongak ke atas. Vaginaku terasa penuh dan disertai rasa nyeri yang sangat hebat tetapi sopirku duduk menghiburku dengan menciumku.

Dia menyuruhku naik turun tetapi itu sulit bagiku karena baru yang pertama aku melakukannya, aku mencoba naik turun rasanya nikmat sekali merasakan dua alat kelamin bergesekan tetapi tetap rasa nyeri tetap ada. Akhirnya akupun lancar menaik-turunkan, melihat itu sopirku semangat dia mulai meremas payudaraku dan mulai melakukan gerakan juga. Lama-kelamaan rasa nyeri itu berubah menjadi rasa nikmat tiada duanya dengan cepat aku menaik turunkan. Gesekan itu sangat nikmat ditambah lagi remasan sopirku di payudaraku.

“Uhh.. Aauhh.. Oouughh” aku terus mendesis.

Malam yang sunyi kembali berisik oleh bunyi kocokan serta teriakanku, kulihat sopirku sekali memejamkan mata menikmati kocokanku. Hingga beberapa lama kita tetap pada posisi itu dan akupun merasakan sesuatu yang mau meledak di vaginaku.

“Ouhh.. Ouughh.. Aku sampai” akupun merasakan orgasme yang kedua kali.

Tenaga yang habis membuat aku tidak dapat menahan tubuhku dan akupun rubuh diatas sopirku. Dengan penis yang masih menancap di vaginaku sopirku membalikkanku hingga dia berada diatas, dia kembali mengocok vaginaku yang telah kelelahan dengan semangat yang masih memburu diapun ingin mengalami orgasme maka akupun melayani dia walaupun tenagaku sudah habis.

Sopirku merasa tidak puas dengan posisi dia diatas dan dia meminta aku untuk duduk dipangkuannya dan dia dengan semangat kembali mengocok. Aku yang sudah lemas masih mencoba mengimbagi kocokannya, aku mencoba memaju-mundurkan pantatku walaupun sudah lemas. Dia semakin semangat untuk mengocokku dengan buas dia juga menggigit payudaraku dan itu sangat membuat diriku kembali terangsang.

“Oouuh.. Ouuhh.. Uuhh”

Akupun di buat tidak berdaya dan lagi-lagi aku dibuat orgasme untuk ketiga kalinya.

“Uuhh.. Ouugh.. Kau hebat Toni.. Ouugh”.

Dengan orgasmeku yang ketiga tubuhku semakin lemas tak berdaya, posisi kami tetap duduk dan aku terus saja memuji dia “Kau hebat Toni” kataku.

Sopirku menyuruhku untuk menungging dengan lemas dan antara sadar dan tidak aku masih menurutinya. Dia masih tidak bosan mengerjai vaginaku. Dia masih dengan semangat tetap mengocok serta meremas payudaraku dan kadang-kadang meremas pantat ku. Jarinya juga masuk ke anusku.

“Ouugh.. Ougghh.. Ougghh” kataku semakin menikmati, dengan kasar dia mengocok vaginaku dan juga anusku. Dengan kocokan dari anus dan vagina tubuhku semakin tak karuan dibuatnya.

“Ouuhh.. Ougghh.. Terus Toni”

Tak berselang lama aku merasakan lagi orgasme yang ke empat.

“Oouuhh.. Kau hebat.. Oughh.. Aku aku dapat ough..”

Dan dia pun mengikuti mengalami klimaks dengan sperma yang masih banyak. Semprotan spermanya membuat mataku terbelalak dan aku pun merasakan kenikmatan, spermanya tidak dapat tertampung di vaginaku sehingga jatuh ke sprei. Kitapun terjatuh bersamaan di tempat tidur, sopirku berada disampingku dan dia masih mencium serta meremas pantat dan payudaraku. Setelah nafasku mulai reda akupun langsung keluar dari kamarnya dengan masih telanjang dan berjalan dengan gontai, sopirku pun tertidur lagi.

Rabu, 03 Maret 2010

Cintaku Untuk Bu Lina

Bagiku masa SMU adalah masa-masa yang tidak dapat kulupakan. Terutama yang berhubungan dengan cinta. Selama 3 tahun di SMU aku sudah 3 kali berpacaran. Yang pertama, saat kelas 1, pacarku salah satu cewek populer di sekolahku, dan hubungan kami cuma bertahan selama 2 bulan. Di kelas 2, aku kembali menjalin hubungan dengan seorang cewek manis, dan hubungan tersebut berjalan cukup lama, hampir satu tahun. Dan yang ketiga, kira-kira beberapa minggu setelah aku putus dengan pacar keduaku. Awal hubungan kami bisa dibilang sangat aneh dan tak terkira, meskipun sebelumnya kami sudah saling kenal karena sering bertemu.

*****

Waktu itu siang menjelang sore, aku sendirian di rumah, duduk di sofa di depan televisi. Tapi lama kelamaan aku merasa bosan. Aku memutuskan untuk keluar sebentar mencari rokok, mumpung kedua orang tuaku sedang tidak dirumah, dan aku bisa bebas merokok. Dan aku pun keluar dengan sepeda motorku. Dasar sial warung rokok dekat rumahku tutup semua, dan langit mulai tertutup mendung. Aku ragu sejenak, bingung apakah terus mencari warung yang buka atau pulang saja, tapi setahuku di dekat jalan raya sana ada warung yang buka. Aku memutuskan tetep mencari rokok ke warung di depan sana. Dan memang akhirnya aku bisa mendapatkan rokok di warung itu. Gerimis mulai turun. Ketika aku sedang tergesa-gesa menyalakan mesin motorku, kulihat seseorang yang kukenal.

"Hei, Bu Lina!" aku memanggil wanita itu. Ia menoleh dan tersenyum sambil menghampiriku.
"Hei Jo! Lagi apa kamu? Beli rokok ya?" tanya wanita itu.
"He.. He.. Ibu tahu aja!"
"Sudah Ibu bilang, jangan kebanyakan merokok!" kata Bu Lina,"Nggak baik untuk kesehatan."

Aku cuman cengar-cengir. Bu Lina adalah guru privat adikku yang masih kelas 6 SD. Seminggu dua kali Bu Lina ke rumahku untuk memberi les untuk adikku. Dan Bu Lina sudah jadi guru les adikku sejak 3 bulan yang lalu.

"Ibu mau ke rumah kan? Bareng yuk, keburu hujan."

Sejak pertama kali bertemu Bu Lina, diam-diam aku mengaguminya. Ia cantik dan anggun, juga baik hati, cerdas dan ramah. Aku paling suka melihat Bu Lina saat ia menerangkan pelajaran untuk adikku. Lama-lama rasa kagum itu berubah menjadi cinta, tetapi tetap saja aku tak pernah berani mengatakannya. Ya, jangan kaget, pacar ketigaku-ya-Bu Lina itu. Aku tak peduli beda usia yang cukup jauh (waktu itu Bu Lina berusia 28 tahun, dan aku 18 tahun), aku tetap mencintainya. Hujan semakin deras, dan ketika kami tiba di rumahku, kami benar-benar basah.

"Masuk, Bu. Biar kuambilkan handuk"

Dan aku baru tersadar, kalau Bu Lina tampak lebih cantik saat rambutnya basah. Di balik pakaiannya yang basah sekilas tampak lekuk liku tubuh seksinya, membuatku membayangkan hal yang bukan-bukan. Kami duduk di sofa ruang tengah, mengobrol sambil minum teh hangat.

"Bukannya jadwal lesnya masih 1 jam lagi Bu?" tanyaku.
"Iya sih. Ibu habis dari rumah teman Ibu dekat sini, daripada mondar-mandir, sekalian saja ke sini. Lagipula tadi sudah gerimis."

Kami mengobrol cukup lama.

"Sini Bu, cangkirnya biar diisi lagi." Aku menawarkan.
"Eh, terima kasih!" Aku menerima cangkir yang diulurkan Bu Lina dan beranjak ke dapur.

Saat aku membuatkan teh hangat, pikiran-pikiran kotor yang tadi sempat tertahan kembali muncul. Aku membayangkan seandainya Bu Lina tak mengenakan apa-apa di tubuhnya yang seksi itu. Dan semakin kubayangkan gairahku semakin menjadi-jadi.

"Ini, Bu!" Aku menaruh cangkir teh di atas meja.
Bu Lina tersenyum, "Terima kasih!"
Aku masih berdiri di samping Bu Lina. Dan kulihat ia sedikit bingung, "Ada apa, Jo?"

Aku tak tahu kenapa aku bisa begitu nekat waktu itu. Dalam sekejab aku sudah memeluk Bu Lina. Bu Lina sangat terkejut dan berusaha melepaskan pelukanku. Tapi tenagaku lebih kuat. Kudorong tubuh Bu Lina hingga rebah di atas sofa.

"Jo, apa-apaan kamu?" Bu Lina berontak atas perlakuanku. Namun perlukanku semakin erat.
Aku berbisik pelan, "Aku mencintaimu, Bu!" dan kulihat Bu Lina semakin terkejut. Ia diam terpaku untuk sesaat. Aku memanfaatkan waktu sesaat itu untuk merenggut lepas kancing-kancing kemejanya.

"Aku menginginkanmu, Bu!"

Kulihat payudara Bu LIna yang bulat berisi di balik bra putihnya. Bu Lina hanya memandangku seakan tak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia sudah tak lagi meronta, sepertinya sudah pasrah akan apa yang akan terjadi.

Pelan-pelan kuturunkan roknya, lalu kulepaskan bra putih itu. Di depanku kini tampak jelas payudara Bu Lina yang sungguh indah, pinggang ramping, pinggul seksi, dan kaki-kaki jenjangnya. Tubuh Bu Lina kini hanya tertutupi oleh celana dalam putih. Tanpa menunggu aku mulai mencumbui tubuh seksi Bu Lina. Mula-mula dari payudaranya. Kumainkan lidahku, kuciumi dengan penuh nafsu, sesekali lidahku memainkan putingnya yang menantang. Kurasakan tubuh Bu Lina tergetar pelan, dan ia mulai mendesah pelan. Kulanjutkan cumbuanku turun ke arah perut, dan semaki ke bawah. Kulepaskan penutup terakhir tubuhnya. Saat itu kudengar suara Bu Lina memohon pelan.

"Ja.. Jangan, Jo!"

Tapi aku tak peduli, aku mulai mencumbu sela-sela paha itu. Harumnya liang kewanitaan Bu Lina membuatku semakin bergairah. Kepalaku kusisipkan di antara kedua paha Bu Lina, dan mulai mencumbu liang kewanitaan yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Kumainkan lidahku di sana, kadang bibirku memainkan klitorisnya hingga tubuh Bu Lina bergetar, dan desahan-desahan pelan terdengar dari bibir Bu Lina saat jariku menyusup ke dalam vaginanya.

"Mmmh, ya!Oh.. Ya, enak.. Oh.. Oh!"

Lidah nakalku terus menari-nari di sana, menyalurkan kenikmatan yang mulai membius kesadaran Bu Lina. Sekarang Bu Lina mulai hanyut dalam permainan cumbuanku, desahan dan erangannya mengimbangi tarian lidahku pada klitorisnya. Kedua pahanya menjepit kepalaku.

"Yaa.. Ya!Oh.. Oh, ya sayang... Teruskan.. Oh.. Oh!"

Tak lama kemudian kurasakan getaran hebat tubuh Bu Lina. Erangannya pun terdengar semakin keras,

"AH.. Ya, ya... Oh sayang... Aku.. Aku keluar... Oh ya... Ooohhh!" Bu Lina menggelinjang hibat dan liang kewanitaannya mulai dibanjiri cairan vaginanya, membuat vagina Bu Lina semakin becek. Aku menyapukan lidahku, menjilati cairan itu.

Aku melihat wajah cantik Bu Lina, kini bersemu merah, matanya terpejam, nafasnya terengah- engah, bibirnya mengeluarkan desahan-desahan pelan. Keringat membasahi tubuhnya. Bu Lina membuka matanya, lalu memandangaku. Masih belum hilang rasa ingin tahu dalam pandangan itu, seakan bertanya 'Mengapa kamu melakukan ini pada ibu?' tetapi bibirnya tetap terkatup.

Kusambut bibir Bu Lina dengan bibirku. Selama beberapa saat kami berpagutan. Dan kurasakan Bu Lina mulai membalas ciumanku. Aku mulai melepaskan semua pakaianku. Kini kami berdua sudah tak mengenakan apa-apa lagi. Senjataku sudah tegang sejak tadi, seperti sebuah rudal yang siap ditembakkan. Ukurannya memang tidak seperti milik bintang film porno yang sering kulihat, tapi cukup besar juga. Bu Lina memandangku dengan tatapan ragu bercampur takut.

"Maaf, Bu!" kataku pelan. Kutuntun penisku ke lubang vagina Bu Lina. Kurasakan Bu Lina sedikit menolak saat kepala penisku menyentuh klitorisnya.

"Ja... Jangan, Jo! Ja... Jangan dimasukkan, nan... Nanti..."
"Ibu nggak usah khawatir, Jo tanggung jawab," kataku, "Jo mencintai Ibu!"
"Ta.. Tapi Jo..."

Belum selesai Bu Lina bicara, aku sudah menusukkan senjataku hingga masuk setengahnya.

"Ah... Jo!" Bu Lina mulai meronta.
"Tenang Bu!" kupegangi kedua tangannya.

Kurasakan lubang vagina Bu Lina yang masih sempit itu menjepit penisku dan meremas- remasnya. Aku bertanya-tanya, apa Bu Lina masih perawan. Kudorong penisku hingga menyusup lebih jauh. Bu Lina merintih,

"Sa... Sakit Jo.."
"Iya.. Iya Bu! Jo pelan-pelan masukinnya."

Mungkin Bu Lina nemang masih perawan, pikirku. Kulihat titik-titik air mata mulai basahi matanya, dan ada sebagian yang jatuh ke pipinya.

"Jo.. Hentikan! Ja... Jangan diteruskan!" desah Bu Lina.

Kepalang tanggung, pikirku. Dan kulesakkan penisku hingga masuk seluruhnya, sampai- sampai Bu Lina menjerit.

"Ah.. Jo, sakit Jo!"
"Tak apa-apa, Bu. Cuman sebentar sakitnya."

Kudiamkan penisku di dalam vagina Bu Lina selama beberapa saat, kurasakan pijatan lembut dinding vagina pada penisku. Terasa nikmat sekali. Lalu aku mulai menggerakkan pinggulku maju mundur, mengocokkan penisku di dalam vagina Bu Lina. Bu Lina mengerang, pada awalnya tedengar rintihan kesakitan, namun lambat laun berganti desahan kenikmatan.

"Ya.. Ya, Oh ya sayang!"

Peluh membanjiri tubuh Bu Lina, matanya terpejam seakan-akan menjemput kenikmatan yang datang bertubi-tubi. Desahannya mengiringi gerakan pinggulku.

"Oh, ya.. Oh... Ouh. Terus sayang! Enak, ja.. Jangan berhenti, oh.."

Aku terus memompa penisku keluar masuk, menggesek dinding vagina yang basah itu. Kulihat tangan Bu Lina meremas-remas payudaranya sendiri. Kenikmatan sudah menjalari seluruh tibuhnya. Desahan dan erangan terus menggema di ruangan itu, berbaur dengan deru suara hujan di luar. Tak lama kemudian kulihat Bu Lina menggelinjang hebat, dan dari bibirnya terdengar erangan panjang menendakan ia telah mencapai klimaks. Kurasakan cairan hangat basahi penisku di dalam vaginanya.

"Oh, oh.. Ya.. Ooohh, sayang! Aku keluar, oh... Oh...!"

Dan tanpa sadar tangannya meraihku dan memelukku erat sambil terus mengerang merasakan kenikmatan puncak yang menguasai tubuhnya.

"Oh... Oh, ya ough!"

Nafasnya tersengal-sengal.

"Ya, nikmat sekali, oh..!"

Akupun merasa sudah hampir mencapai klimaks, maka kupercepat gerakan pinggulku. Dan sepertinya gerakanku memacu kembali gairah Bu Luna. Kurasakan pinggul seksi Bu Lina mengimbangi gerakan pinggulku.

"Oh.. Ya... Oh, lagi sayang.. Oh!" desah Bu Lina,"Lebih cepat lagi... Oh.. Oh!!"

Dan tak lama kemudian kurasakan penisku berdenyut-denyut.

"A.. Aku hampir keluar Bu!" kataku,"Keluarin di mana?"
"Oh.. Keluarin saja... Di dalam... Nggak apa-apa.."

Dan seketika itu juga aku mencapai puncak, penisku memuntahkan banyak cairan mani ke dalam vagina bu Lina, memenuhi rongga kewanitaannya.

"Ough.. Bu! Aku keluar, Bu! Oh nikmat sekali, oh..!"

Bu Lina menggelinjang lagi, ia mencapai klimaks lagi sesaat setelah aku orgasme.

"Ya.. Oh, ya sayang.. Aku juga keluar... Oh.. Oh.."

Tubuh kami bersimbah pelu, aku merasakan sangat lelah. Tubuhku kurebahkan di sofa di samping tubuh Bu Lina. Nafas kami tersengal-sengal. Kulihat wajah Bu Lina yang bersemu merah tampak cantik, ia tersenyum.

"Kau... Kau nakal Jo!" katanya pelan,"Tapi aku senang."
"I... Ibu tidak marah?"
Bu Lina mencium bibirku. "Aku memang marah pada mulanya, tapi-sudahlah-semuanya sudah terjadi," katanya, "Kau hebat!"

Hujan masih turun dengan derasnya. Adikku menelpon, katanya ia belum bisa pulang karena hujan belum reda. Dan aku menghabiskan sore itu berdua bersama Bu Lina. Kami masih sempat bermain cinta sekali lagi sebelum kedua orangtua dan adikku pulang.

*****

Sejak saat itu aku merasa hubunganku dengan Bu Lina semakin dekat, selayaknya sepasang kekasih. Bu Lina menjadi lebih ramah padaku. Kadang kalau ada waktu senggang, aku main ke rumah Bu Lina, atau jika rumahku sepi, aku mengundang Bu Lina ke rumahku, dan kami bisa menghabiskan sore dengan bermain cinta. Hubungan kami bertahan selama 6 bulan, dan berakhir saat aku lulus SMU dan harus melanjutkan ke perguruan tinggi di kota lain.

E N D

Oleh: the_devilz_07@yahoo.com


Ibu Lia dengan Rasa Juice Melon


Begitulah kejadiannya yang begitu cepat berlalu dan tidak terasa satu tahun sudah perselingkuhan ini berlangsung. Dan kebetulan juga suami Mbak Lia juga suka berselingkuh seperti yang dituturkan Mbak Lia ke aku. Jadi KLOPLAH'

Namaku Dimas, lahir di Denpasar Bali 30 tahun yang lalu. Tinggi 170 cm. Hobby main music, fitnes dan sports. Aku punya kebiasaan kalau aku bercinta suka menggunakan buah-buahan seperti: anggur, cherry, duku, madu, es cream, coklat dll. Makanya aku sering dibilang penjual buah- buahan surgawi. Dan kebiasaanku yang lain adalah aku paling suka kalau berkencan dengan wanita yang umurnya lebih tua dari aku. Seperti kisahku ini.

Namanya Lia, seorang ibu muda umurnya 35 tahun, hidup bahagia dengan satu orang anak dan suami kaya. Perkenalanku pertama berawal di sebuah restoran di seputaran kota Denpasar. Pada saat aku makan dengan teman-teman yang kebetulan aku juga kenal dengan pemilik restoran itu, seperti biasa disana ada live music setiap malam minggu. Aku duduk di meja agak paling belakang, sementara Ibu Lia dan teman wanitanya duduk bersebelahan denganku. Dari pertama aku ngelihat dia, aku sudah tertarik dengan gaya dan wajahnya yang cantik dengan pakaian sexynya. Hanya saja Ibu ini kayaknya tidak memperhatikan aku. Mungkin karena sifat wanita memang begitu atau mungkin Ibu ini jinak-jinak merpati ya? Who knows.

Lamunanku dikejutkan dengan dipanggilnya namaku oleh penyanyi yang ada di depanku yang kebetulan aku kenal karena aku sering ke-restoran ini setiap malam minggu. Aku berdiri untuk menjadi tamu kehormatan dan disuruh menyanyikan beberapa lagu untuk para tamu di-restoran ini. Kemudian aku nyanyi lagunya Yulio Iglesias [CRAZY] sambil main keybord. Dan ketika aku nyanyi, ternyata Ibu Lia memperhatikan aku terus. Matanya seperti tidak berkedip sedikitpun melihatku nyanyi.

Setelah dua tembang aku nyanyikan, aku kembali duduk dan menyantap hidangan malam itu. Beberapa menit kemudian pelayan restoran itu datang menghampiriku dan membawa secarik kertas yang isinya.

"Tolong hubungi, di nomer ini setelah pukul 22.00 WITA... Lia"
Pukul 22.00 WITA tepat aku telpon Ibu Lia.

"Hallo... Ini Ibu Lia ya..?" tanyaku deg-degan.
"Pasti... Dimas... ya?" jawab Ibu Lia singkat.
"Lo.. Kok tahu nama saya, kan belum kenalan?" jawabku mencoba untuk tenang.
"Ya.. Aku sudah tahu nama kamu dari Mbak Ira, penyanyi wanita itu.. Dan katanya kamu pinter nyanyi dan sedikit nakal...!" jawabnya lagi.

Menurut pengalamanku kalau ada cewek yang ingin tahu dataku, ini pasti ada udang dibalik batu.

"Mmh... saya bisa ketemu ibu nggak malam ini?" tanyaku mulai berani.
"Mmh.. Boleh tapi sekedar ngobrol aja ya Dimas..?" jawab Ibu Lia rada was-was.
"Ok.. Dech... barangkali saya bisa menghibur Ibu di malam minggu ini walau hanya lewat tembang."

Setelah aku tutup HP-ku, aku meluncur untuk menjemput Ibu Lia di suatu tempat. Kemudian kami meluncur ke sebuah pantai. Disana kami cerita banyak dan banyak sekali pertanyaan yang ternyata Ibu Lia suka akan suaraku waktu aku nyanyi. Katanya mengingatkan akan nostalgianya dulu.

"Sekarang kamu tidak boleh lagi memanggil saya Ibu Lia, tapi Mbak Lia. Ok..?"
"Baiklah Mbak Lia cantik dan sexy.!!" jawabku mulai menggoda.
"Mumpung suami Mbak lagi pameran di luar negeri, gimana kalau saya ajak Mbak nyanyi di sebuah karaoke. Dan senang sekali rasanya kalau saya bisa mendengar suara merdu Mbak Lia," tanyaku memuji.

Dengan bahasa tubuh Mbak Lia aku sudah mengerti maksudnya. Dan tanpa pikir panjang aku meluncur ke sebuah Karaoke. Sengaja aku nyanyikan lagu-lagu melankolis. Dan aku pura- pura nggak dengar ketika dia menanyakan sesuatu, agar aku bisa lebih dekat ke wajahnya. Dan... Mmmh... tercium aroma khas farfum Etine Eighner yang dia pakai. Ketika kusentuh tipis bagian pipinya dengan hidungku, dia pun menggeLiat manja penuh harap. Dan ketika kudekati bibirnya, Mbak Lia pun melumat bibirku dengan mesra.

"Mmmh rasa strawberry..." tanyaku nakal.
"Apanya yang rasa strawberry..?" jawab Mbak Lia kaget
"Bibirnya Mbak Lia... Rasa strawberry... dan sudah saya rasakan. Dan saya kepingin sekali merasakan enaknya rasa juice melonnya Mbak Lia..?" tanyaku sambil melirik ke bagian bawah perutnya Mbak Lia.

Mungkin Mbak Lia sudah mengerti maksudku. Dan sambil berciuman, tangan Mbak Lia mulai berani meraba-raba celanaku yang dalamnya sudah kepanasan minta keluar. Kupegang pundak Mbak Lia, sementara tangan kiriku perlahan-lahan kubuka kancing celananya sambil kuturunkan bibirku ke kedua gunung kembarnya. Yang sebelumnya sudah aku olesi dengan madu sachet yang aku beli di Apotik.

"Ochh... Enak Sekali. Dan untuk pertama kalinya aku ngeseks pakai madu segala... Untuk apa Dimas... Ohh...?" tanya Mbak Lia dengan nafas nggak teratur.
"Ya... Beginilah caranya kumbang menghisap madunya!" jawabku sekenanya.

Kemudian madunya aku teteskan dari pusar sampai ke bibir vagina Mbak Lia. Perlahan-lahan kujilati bagian yang paling sensitif itu. Nampak tubuh Mbak Lia terguncang saking gelinya karena daerah klitorisnya aku sentuh dengan lidahku. Bulu kemaluannya yang tampak rapi sehabis di cukur menambah nuansa kegairahanku untuk menyedot Mrs. V-nya dan belahan kemaluannya bagai buah kedondong dibelah, nampak merah dan bersih.

"Terus Dy... Jangan dilepas Ochhh..!"
"Sayang... Aku nggak kuat... Geli sekali... Masukin Dy... Auhch!" pinta Mbak Lia.

Karena lidahku juga sudah capek.... kemudian aku buka celanaku dan dengan posisi Mbak Lia bersandar di sofa, Perlahan tapi pasti penisku aku masukin dan..

"Ochh.. Dimas kenceng banget punyamu...!".
"Terus Dy... Wow... Shhssshhh" sebenarnya Mrs.V-nya Mbak Lia ternyata masih Oke buktinya penisku dicengkeramnya.
"ohhh... Masuk semua Mbak... Wow..." kataku sambil kukilik pentil vaginanya sampai keluar lendir dan tampak basah.

Kemudian leherku ditariknya lalu melumat bibirku penuh nafsu. Kukocok vaginanya dengan penisku. Sementara Mbak Lia berteriak-teriak kecil menahan geli. Dan aku bersyukur karena suara musicnya keras. Bisa dimarah kalau ketahuan ngeseks di tempat karaoke.

"Sayang... Aku sudah nggak kuat... Mau keluar achhh..." pinta Mbak Lia penuh keringat. Dan dengan sedikit goyang, punggungku dicengkeram tangan Mbak Lia dengan kuat sekali dan...

"Ochh... Sayang... Aku keluaaar uhh... ssshhh," suara Mbak Lia dengan puncak kenikmatannya.

Sementara aku masih geli dengan penis yang masih kenceng memaksa untuk memompa vaginanya Mbak Lia untuk kesekian kali sampai aku mandi keringat, limabelas menit kemudian..

"Mbak Lia... Aku hampir keluar... Ochh... Crot... Crot... Crot" spermaku keluar dan nyembur di pusar Mbak Lia yang putih bersih Itu.

Sekitar tiga jam aku dan Mbak Lia di Karaoke, kemudian aku antar Mbak Lia pulang. Kulihat disekeliling rumah dalam keadaan sepi, yang ada hanya pembantu dan anaknya yang semuanya pada tidur. Sebenarnya aku hendak mau pulang karena teman-teman pasti sudah nunggu kedatanganku. Tapi tanganku enggan dilepas Mbak Lia. Kayaknya Mbak Lia masih kepingin aku disini menemani rasa kesepian ditinggal suaminya pameran ke luar negeri.

"Sayang.... temanin aku malam ini ya? Kalau sendiri aku borring. Please Say...? pinta Mbak Lia berulangkali.

Selanjutnya karena sedikit dipaksa, dan kebetulan aku juga ingin menikmati tubuhnya lagi. Akhirnya aku bermalam di rumahnya
Mbak Lia. Sebelum ke kamar aku sempatin ambil buah dikulkasnya. Aku pilih buah Apple New Zealand. Lalu aku masuk ke kamar Mbak Lia yang sudah dari tadi nunggu dengan menggunakan pakaian sexynya. Ya... Lagi-lagi pakaian sexy kesukaanku.

Kembali aku dan Mbak Lia bermain cinta aLias ngeseks di kamar yang telah didesain rapi dan artistik. Setelah fore play selama limabelas menit, aku masuk ke kamar mandi sambil membawa buah apple. Kemudian applenya aku lubangi seukuran penisku. Lalu aku keluar dan Mbak Lia sontak kaget melihat penisku dibungkus apple.

"Gila kamu Dimas...?" sahut Mbak Lia dengan wajah geli, heran dan sedikit gemas.
"Ini yang saya mau.... Mbak kan suka buah-buahan. Sekarang Mbak tinggal makan sedikit- demi sedikit applenya sambil mencicipi aroma penis rasa apple saya," jawabku meminta Mbak Lia untuk segera melakukannya.

Dan tanpa pikir panjang penisku sudah disedotnya bak permen lolipop.

"Ahhh... Ushhh...!" suaraku mendesis menahan geli.

Dan mulut Mbak Lia pun semakin aktif mengulum penisku. Semakin kebawah mulutnya mengulum buah pelirku sampai aku nggak kuat menahan geli.

"Mmhh tepat sekali Penis dengan rasa buah apple," sahut Mbak Lia girang.

Setelah itu seperti yang aku minta ke Mbak Lia agar sama-sama saling melumat kemaluan dan itu memang terjadi.

Wow... Aku dan Mbak Lia berteriak bersama menahan geli. Selanjutnya...

"Masukin yuk.. Sayang?" tanya Mbak Lia.
"Kutahu yang kau mau?" jawabku sambil mencoblos vaginanya Mbak Lia.

Cukukp lama aku mengocok lubang vaginanya, dan akhirnya tubuh Mbak Lia Seperti kejang tanda akan segera turun larva yang panas dari bibir vaginanya.

"Ochhh... Aku... Ochhh?" suara Mbak Lia mengeluarkan sperma puncaknya.

Selang beberapa menit kemudian aku juga mengeluarkan sperma kental dari lubang penisku.

"Ushhh.. Crot... Crot... Crot"

Pagi, pukul 06.00 wita aku berpamitan pulang untuk kembali kerja walau dengan kepala agak pusing karena kurang tidur tadi malam.

"Dimas... Apa aku bisa ketemu kamu lagi..? Soalnya kamu asyik dan unik" tanya Mbak Lia memelas.
"Kenapa nggak... Saya seneng bisa seperti ini. Pokoknya jalani aja apa yang telah terjadi hari ini dan hari yang akan datang selama bisa menjaga rahasia kita berdua dan satu lagi... Jaga rasa juice melonnya ya...?" jawabku nakal.
"Ichh... Kamu nakal.." sela Mbak Lia dibarengi dengan cubitan ke arah lenganku.

Begitulah kejadiannya yang begitu cepat berlalu dan tidak terasa satu tahun sudah perselingkuhan ini berlangsung. Dan kebetulan juga suami Mbak Lia juga suka berselingkuh seperti yang dituturkan Mbak Lia ke aku. Jadi KLOPLAH'


E N D

Oleh: dimasayang02@yahoo.com


Rampok... Rampok...


Siang hari di sebuah rumah kosong, kembali saya mematangkan rencana yang telah kami susun dengan kedua anak buahku. Kali ini sasaran kami adalah sebuah rumah mewah yang terletak dibilangan Jakarta Selatan. Kami adalah sekawanan perampok yang menjunjung tinggi kode etik perampok, artinya tidak pernah tercampur dengan tindak criminal lainnya.

Sebagaimana para netters ketahui bahwa di zaman yang serba sulit saat ini, sangatlah sakit rasanya bila harus menahan lapar tiap hari sementara banyak orang di luar sana yang sanggup mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk sepiring nasi. Bahkan jauh lebih kenyang rasanya makan di Warteg daripada makan sepiring nasi yang berharga ratusan ribu tersebut. Setidaknya itulah bandingan kekontrasan yang terlihat di negara ini.

Saya tidak katakan tidak setuju mereka menikmati hasil jerih payah mereka. Dan tentu saya setuju kalau itu mereka dapatkan dengan kerja keras mereka. Dengan berkaca pada situasi inilah saya juga ingin merasakan paling tidak setengah dari keadaan tersebut. Tentu dengan kerja keras juga, hanya mungkin caranya berbeda. Jika mereka merampok dengan menggunakan dasi dengan wajah penuh damai, kami merampok dengan cadar dengan wajah tertutupi. Itulah salah satu factor pendorong terbesar sehingga terbentuklah kelompok ini.

Tepat jam 00.30 kami telah siap siaga di depan rumah mewah yang menjadi sasaran kami dini hari ini. Dengan cekatan saya merintis jalan masuk ke rumah yang diikuti anak kedua anak buahku. Satpam yang sedang ngantuk saat itu dengan mudah kami ikat. Tentunya kami tidak mengalami kesulitan masuk ke rumah ini karena hal ini kami adalah ahlinya.

Rumah yang serba mewah dengan perabotan yang serba mewah pula. Terdapat beberapa kamar yang harus kami periksa satu persatu. Dari tiga kamar kami berhasil melumpuhkan tiga orang yang menurut perkiraanku adalah pembantu. Terdiri dari dua wanita dan satu laki-laki yang kemungkinan supir pribadi di keluarga itu. Kami sampai diruangan yang cukup besar yang kurasa adalah ruang tamu. Terdapat photo keluarga yang terdiri dari lima orang, yakni suami istri, anak perempuan dua dan satu laki-laki yang kira-kira berumur dua puluhan.

Berpedoman pada photo tersebut, berarti kami harus membekuk lima orang lagi. Akhirnya kamar yang laki-laki dapat kami temukan dan langsung kami ikat dan satukan dengan para pembantu tadi. Dan selanjutnya kami temukan kamar para wanita bersebelahan. Kami mengikat para gadis yang mengenakan pakaian tidur tersebut. Sekilas wajah mereka tampak tidak kalah dengan para artis dan sangat seksi dengan pakaian tidur mereka. Tapi karena hal ini telah terbiasa bagi kami sehingga menganggapnya angin lalu saja. Yang penting bagaimana melaksanaakan aksi ini dengan sukses.

Karena kami kesusahan mencari kamar tidur utama, maka kami paksa mereka untuk menunjukkannya. Tampaknya si gadis yang lebih tua tegar juga dan tidak mau mengaku. Kesal bercampur gemas, saya tangkap buah dadanya.

"Auw.. Jangan..!" katanya tiba-tiba.

Sebagai lelaki normal, Berdesir darahku manakala memegang buah dada yang ternyata tidak muat digenggamanku. Mungkin karena dia memakai pakaian tidur membuat buah dadanya tidak terlihat menonjol. Seperti terhipnotis dengan buah dadanya tersebut, tangan saya tetap membetot kedua buah dadanya dan mata kami saling melotot. Tetapi akhirnya aku tersadar dan lanjut bertanya.

"Dimana kamar orang tuamu.. Jawab! Aku tak ingin menyakiti kalian!" kataku dengan lembut tapi tegas.
"Di atas.." akhirnya dia menjawab juga.

Dengan sigap kami naik ke atas dan mendapati beberapa kamar. Tapi tentunya siapapun dapat menebak mana kamar utamanya. Dengan berbagai kunci yang kami punya akhirnnya kami dapat membuka pintu kamar tersebut dengan tidak meninbulkan suara berisik.

Saya melihat dua sosok tubuh yang lagi tidur pulas di atas tempat tidur yang sangat mewah. Setelah saya mendekat dan mengarahkan pistol di kepala si suami, saya berikan kode ke anak buahku agar menyalakan lampu utama. Kemudian kamar itu terang benderang. Saya kaget setelah dapat melihat dengan jelas wajah si suami tersebut. Siapa yang tidak mengenal dia di negeri ini. Bukankah dia salah satu pejabat di negara ini?

Kenapa tadi saya tidak memperhatikan photo keluarga tadi? Ingin rasanya mundur, tapi sudah terlanjur basah dan tentunya ini akan sangat memalukan bagi para perampok lain bila berita ini terdengar besok dengan judul "Sekawanan perampok menghentikan aksinya setelah mengenali wajah korbannya". Sangat mencoreng profesi perampok bila hal ini terjadi.

Berarti aksi ini harus dituntaskan. Kembali saya amati kedua tubuh suami istri yang terlentang dengan menggunakan baju tidur itu. Kuamati pelan istrinya dengan seksama. Wajah yang sangat cantik keibuan sama halnya seperti ibu-ibu pejabat yang terhormat. Walau kutaksir sudah berumur kepala empat, tapi siapapun lelaki pasti masih bergairah melihat tubuh seperti ini.

Terlihat tonjolan di dadanya yang lumayan besar. Pandanganku turun ke bawah.. Seerrr.. Berdesir jantungku melihat salah satu kakinya tertekuk ke samping yang membuat kakinya agak mengangkang sehingga baju tidurnya tersingkap sampai ke pangkal pahanya. Terlihat ujung celana dalamnya yang tentunya menutupi vaginanya. Warnanya hitam. Berlagak serius kusuruh anak buahku keluar kamar untuk mencari barang-barang berharga dengan meyakinkan aku sanggup mengatasi yang dua ini.

Tidak dapat kuingkari lagi kalau detak jantungku sangat keras. Dilain pihak saya menghormati komitmen perampok terhormat yang saya pegang kuat. Tapi siapa laki-laki normal yang tahan melihat hal seperti ini?

Sensasi yang semakin kuat membuat aku perlahan mendekatkan wajahku ke pangkal paha itu. Perlahan kuendus ujung vagina yang terlihat itu, uhh.. Semakin dekat sampai ujung hidungku menyentuh tonjolan vagina yang masih terbungkus celana dalam itu.

Perlahan kusingkapkan lagi baju tidurnya ke atas. Pelan-pelan semakin tampak gundukkan vagina istri pejabat tersebut. Saya singkapkan terus sampai ke pinggang tanpa membangunkan orangnya, sementara pak pejabat masih mendengkur. Ternyata celana dalam yang dipakai ibu pejabat ini hanya sanggup menutupi setengah gundukan vaginanya. Setengah bagian atas gundukan vaginanya terbuka sampai terlihat sedikit garis yang membelah vagina itu yang ditumbuhi rambut halus.

Perlahan kujulurkan lidahku ke gundukan vagina yang sangat tebal itu. Kuusap-usapkan lidahku beberapa kali dari bawah ke atas sampai celana dalam itu basah. Akibatnya tonjolan clitoris vagina nyonya pejabat itu terlihat berbayang. Sengaja kuhindarkan persentuhan lidahku dengan kulit ibu pejabat itu biar dia tidak terbangun.

Pinggul bu pejabat itu bergerak perlahan kesamping yang membuat pahanya semakin terbuka. Sementara batang zakarku yang sudah tegang terasa sakit karena terjepit dengan celana dalamku. Kuambil gunting dari kantong peralatan. Perlahan kusisipkan ujung gunting ke balik celana dalamnya secara mendatar sehingga celana dalam itu terpotong. Tampaklah bentuk vagina ibu pejabat itu secara utuh. Vagina yang sangat tebal terbelah panjang dengan clitoris yang mencuat keluar dari bibir vagina itu dihiasi dengan bulu-bulu halus rapi diseputar bibir vaginanya.

Nafsuku yang semakin tinggi membuat aku semakin berani. Kujilati langsung belahan vagina ibu pejabat itu. Kuusapkan lidahku dari bawah dekat dengan lubang anusnya sampai ke ujung clitorisnya.

"Akh.." tiba-tiba mulut ibu pejabat itu mendesis dan pinggulnya menghentak saat lidahku menyentuh clitorisnya. Kuhentikan jilatanku karena kukira dia terbangun. Kutunggu sesaat ternyata terdengar lagi dengkuran halusnya. Terus kujilati belahan vaginanya dengan rakus, lubangnya yang merah tua dan juga sampai ke pinggir gundukan vaginanya sampai ke pangkal pahanya.

"Akh.. Akh.. Akh.." mulai terdengar desisan istri pejabat itu dan pinggulnya mulai bergerak naik turun mengikuti irama jilatanku di vaginanya. Sedangkan vaginanya sudah semakin membengkak sehingga terlihat semakin menggembung ke atas dan basah. Mungkin dia lagi bermimpi sedang bersetubuh dengan pak pejabat saat ini. Tak tahan lagi dengan batang zakarku yang terjepit, kukeluarkan melalui resleting celanaku. Sambil menjilati vagina bu pejabat sementara tanganku mengocok batang zakarku. Kulihat lubang vagina nyonya pejabat itu mulai mengeluarkan lendir berwarna bening agak putih.

Kupercepat kocokanku pada penisku sampai kurasakan mendekati puncak sementara pinggul istri pejabat itupun semakin cepat begerak, turun naik dan kadang berputar halus. Kuhentikan jilatanku pada vaginanya ternyata pinggul itu terus bergerak.

"Ouhhss.. Aakhh.. Oohhh.." desisan nyonya itu terdengar semakin berat. Perlahan aku berdiri sambil mengocok batang zakarku. Pelan-pelan kudekatkan penisku ke vagina bu pejabat itu. Ujung penisku mulai menyentuh bibir vaginanya dan perlahan kepala penisku kuarahkan ke lubang vagina istri pejabat itu. Karena goyangan pinggulnya membuat kepala penisku beberapa kali meleset dari lubang vaginanya.

Akhirnya kepala penisku bisa juga tepat di lubang vaginanya yang telah menganga itu. Terasa vaginanya hangat. Dan mulai kutekan perlahan.

"Bless"

Amblas kepala penisku tepat di lubang vagina yang sudah seperti ingin menelan batang zakarku. Tapi kalau kumasukkan semua nanti bisa membangunkannya. Akhirnya penisku hanya ku gosok-gosok saja dari lubang vaginanya sampai ke clitorisnya.

"Aahh.. Oohhh... Akhh.." desisan yang keluar dari mulut ibu pejabat itu semakin sering. Dan aku juga semakin cepat dan kasar menggesek-gesek kepala penisku di bibir vaginanya. Beberapa menit kemudian terlihat pinggul ibu pejabat itu semakin naik ke atas yang membuat kepala penisku terbenam di lubang vaginanya. Sesaat kepala penisku terbenam di lubang vaginanya, kurasakan kepala penisku seolah digigit lubang itu dan kurasakan kedutan-kedutan vaginanya. Dan "seeerrr.. Seeerrr.. Seerr.. Serr" begitu kurasakan cairan keluar dari vagina istri pejabat itu menyirami kepala penisku.

Dan kurasakan juga spermaku hendak mau tumpah. Karena ruang gerakku terbatas, kutekan saja batang zakarku ke lubang itu dan...

"Crrooottt.. Crrooott.. Crott.. Crot." spermaku menyembur begitu banyaknya kusemprotkan ke lubang vagina nyonya pejabat itu.

Sebentar kemudian kubersihkan kepala penisku dengan mengusapkannya ke clitoris dan gundukan vaginanya. Lega dan terasa ringan rasanya badanku sekaligus sedikit lemas. Kumasukkan penisku ke dalam celanaku dan kututupi kembali vagina istri pejabat itu dengan menurunkan baju tidurnya sementara celana dalamnya kumasukkan ke kantongku.

"Bos, sepertinya penyimpanan uang dan barang berharga ada di kamar ini."

Tiba-tiba anak buahku masuk ke dalam kamar. Untung semuanya telah selesai sehingga wibawaku dapat terjaga.

"Oke.. Mari kita ikat kedua orang ini" kataku. Kemudian kami mengikat suami istri itu yang sekali gus membangunkan mereka.

"Siapa kalian?!" suara pak pejabat setengah membentak.
"Diam dan patuhi perintah kami biar tidak ada yang terluka," kataku dengan berwibawa yang membuat ciut nyali pak pejabat itu. Pertama kami mengikat pak pejabat dengan kedua tangannya ke belakang dan kakinya juga dengan posisi duduk dan kaki tertekuk. Sementara istrinya sangat katakutan melihat todongan pistol kami.

Sepertinya dia tidak sadar kalau tidak mengenakan celana dalam lagi. Sementara saya mengikat istrinya, kedua anak buahku memeriksa semua lemari yang ada di kamar itu. Kedua tangan si nyonya kuikat ke depan tapi tersambung dengan ikatan pada kedua kakinya sehingga dia tidak bisa duduk. Mereka kami taruh di lantai yang berlapis karpet mewah itu. Mereka tentunya takut berteriak karena todongan pistol kami.

Setelah kami menemukan barang-barang berharga dan sejumlah uang tunai, secepatnya kami bergegas meninggalkan mereka. Kusuruh anak buahku duluan mengantar barang-barang tersebut ke mobil kami. Mereka kira aku tidak memperhatikan, mereka meronta-ronta hendak melepaskan tali pengikat. Tapi tiba-tiba aku menoleh ke mereka yang membuat mereka langsung terdiam. Mungkin karena berusaha melepaskan tali, membuat baju istri pejabat itu tersingkap sehingga memperlihatkan pantatnya yang bulat.

Posisinya tertidur menyamping dengan kaki dan tangan terikat jadi satu. Sehingga aku dapat melihat lekukan pinggulnya yang sangat indah. Kulihat pantatnya yang berhadapan denganku saat itu.

"Ooohh.." tiba-tiba aku tersentak melihat pantatnya yang bulat. Vaginanya terjepit diantara kedua belah pahanya. Terlihat wajah kedua suami istri itu cemas dengan apa yang akan kulakukan. Mereka heran bagaimana bisa sang nyonya tidak mengenakan celana dalam lagi. Perlahan kudekatkan wajahku ke belahan pantat dan vagina si nyonya yang terjepit pahanya.

Kembali jantungku berdebar kencang tak teratur. Siapa yang tahan lihat pemandangan seperti ini. Wajah si nyonya tampak semakin cemas saja melihat aku mulai mengendus vaginanya.

"Tolong jangan sentuh istriku, ambillah semua yang ada asal jangan kau ganggu istriku.." kata pak pejabat memohon. Bukannya aku tak berperasaan, tetapi apapun rasanya tak sanggup untuk menggantikan vagina istrinya yang telah membuat birahiku naik. Kujulurkan lidahku sampai menyentuh bibir vagina si nyonya yang sekaligus menyentuh clitorisnya yang keluar dari bibir vaginanya.

"Auww.. Jangan.. Kumohon.. Jangan sentuh aku.." kata si nyonya memohon. Dengan posisi seperti ini, berarti dia memunggungi aku. Dia berusaha menoleh ke arah wajahku yang mulai menjilati vaginanya.

"Auhhh.. Jangan.. Auhh.." katanya dengan suara memelas dan kegelian. Aku tak perduli lagi, kali ini aku mau merasakan vaginanya secara utuh, sebagai balasan yang tadi. Kembali kujilati bibir-bibir vaginanya sambil mengelus-elus bongkahan pantatnya yang bulat besar. Terlihat belahan pantatnya membelah sampai ke vaginanya, sungguh pemandangan yang sangat indah.

Sementara batang zakarku kembali tegang. Segera kubuka semua pakaianku tanpa melepas cadar zorro ku. Sepertinya pak pejabat sudah pasrah, mungkin sebagai lelaki dia dapat merasakan apa yang kurasakan, yaitu nafsu yang harus dituntaskan. Untuk itu sia-sia saja dia memohon bila sudah sejauh ini.

Kemudian kubuka pakaian tidur istrinya dengan mengguntingnya. Terpampanglah tubuh nyonya pejabat yang sangat mulus dan putih. Kugunting lagi BH nya dan tersembullan buah dadanya yang lumayan besar dan sudah mulai mengeras. Kedua tanganku meraba buah dadanya dari samping. Kuremas-remas dengan gemasnya.

"Akhh.. Jangan.. Akhh.." saya jadi merasa lucu tidak bisa membedakan larangan atau erangan yang keluar dari mulutnya. Sambil meremas buah dadanya, kuciumi tengkuknya sampai ke punggungnya yang membuat bulu romanya merinding.

"Akhh.. Tolong.. Jangan teruskan.. Akhhh.." katanya lagi berusaha menghentikanku. Sementara badannya menggeliat-geliat merespon ciumanku. Ciumanku terus turun menyusuri pinggangnya yang ramping sampai ke buah pantatnya. Kujilati buah pantatnya dua-duanya. Kugigit daging pantatnya yang kenyal.

"Auww.. Sakit.." erangnya kesakitan. Kususupkan kepalaku ke pusarnya yang terjepit diantara ikatan tangan dan kakinya. Kujangkau sedapat mungkin bagian depan vaginanya sampai bagian itu basah dengan ludahku. Puas dengan itu, kembali kedua tanganku meremas dua buah pantatnya sementara mulutku melumat bibir vaginanya yang terjepit tanpa tersisa. Lubang vaginanya mulai mengeluarkan lendir bening, pertanda dia juga mulai terangsang. Kujilati kedua batang pahanya yang mulus dan kembali lagi ke lubang vaginanya. Kucoba memasukkan lidahku ke lobang vaginanya.

"Auw.. Jangan.. Akhhh.. Jangan.." dia mulai menangis tapi seperti kenikmatan juga. Mungkin karena di depan suaminya membuat dia tersiksa antara menikmati tapi takut dengan suaminya. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama dengan tubuh nyonya pejabat ini tapi karena keburu pagi dan anak buahku terlalu lama nunggu dan bisa curiga, akhirnya aku berusaha menuntaskannya.

Tubuhku kurebahkan dan mensejajarkan dengan posisi tubuhnya dimana bagian tubuhnya yang sebelah kiri berada dibawah. Dia memunggungiku sementara badanku menghadap punggungnya. Perlahan kupaskan posisi selangkanganku dengan pantatnya yang membuat batang zakarku menyentuh belahan pantat dan bibir vaginanya. Tanganku yang kiri kususupkan dari bawah tubuhnya sampai dapat menggenggam buah dadanya sebelah kiri. Kupegang dengan erat yang membuat dia mengerang.

"Akhh.. Aaku mau diapakan.." tanyanya. Tangan kananku mulai menggenggam batang zakarku dan mengarahkannya ke lubang vaginanya yang terjepit pahanya.

"Auw.. Jangan.. Tolong.. Jangan dimasukkan.." katanya sambil menjauhkan vaginanya dari penisku yang mulai menyentuh bibir vaginanya. Biar tidak bergerak, kuangkat kaki kananku dan meletakkan diatas pinggulnya serta mengunci pergerakannya. Setelah tenang kembali kuarahkan batang zakarku ke lubang vaginanya. Perlahan kuselipkan kepala penisku ke lubang vaginanya, dan...

"Auw.. Jangan.. Kumohon jangan masukkan.." katanya mengerang. Tapi aku tak perduli lagi, kutekan pantatku sampai kepala penisku terbenam di jepitang lubang vaginanya.

"Pah.. Gimana donghh.. Ini.." katanya sambil menoleh ke suaminya yang wajahnya memerah. Tapi pak pejabat tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kurasakan kepala penisku sudah mantap terjepit di lubang vaginanya, kemudian tangan kananku meraih buah dadanya yang satu lagi.

"Tolong.. Jangan... Tekaaannn.. Auw.." tiba-tiba dia menjerit ketika kutekan penisku hingga batang zakarku amblas semuanya yang membuat tubuhku sampai melengkung.

"Bleeesssek" suara batang zakarku menyusuri liang vaginanya. Sesaat kudiamkan penisku didalam liang vaginanya. Kuciumi tengkuknya dan berusaha menciumi bibirnya tapi tidak sampai. Perlahan kuayun pantatku mengocok vaginanya. Karena terjepit pahanya membuat lubang vaginanya agak keset dan nikmat sekali rasanya.

"Akhhh.. Hentikan.." katanya masih menangis berusaha menolak nikmat yang semakin dia rasakan. Kupercepat ayunan pantatku membuat badannya terdorong-dorong ke depan.
"Auw.. Auww.. Akhh.." erangannya keluar setiap penisku kudorong kedepan.
"Akhh.. Pahhh.. Tolongin.. Pahhh... Akhh.." tiba-tiba kurasakan tubuhnya mengejang, pahanya semakin keras menjepit kontolku. Badannya semakin menggulung ke depan menyebabkan badanku semakin ikut melangkung karena tertarik kontolku yang dijepit kuat vaginanya.

"Akkhhh.. Pahh.." erangnya disaat kurasakan kepala zakarku disirami oleh cairan orgasmenya didalam liang vaginanya. Kemudian dia lemas dan pasrah ketika semakin cepat kugoyang tubuhnya. Pak pejabat sekilas kulihat malah menonton keluar masuknya batang zakarku di vagina istrinya. Nampak wajahnya merah padam, mungkin ikut terbawa suasana juga. Beberapa menit kemudian aku ingin menuntaskan permainan ini. Kupercepat kocokan penisku di vaginanya, sampai menimbulkan bunyi, blessep.. bleessep.. blep, perpaduan antara batang zakarku dengan lubang vagina ibu pejabat itu. Sesaat kemudian kudekap erat tubuhnya. Kedua tanganku dengan kuat membetot buah dada nyonya besar itu.

"Auww.." jeritnya kaget merasakan ketatnya genggaman tanganku di buah dadanya.

Kemudian kaki kananku kembali kuletakkan di atas pahanya dan menjepitnya dengan kuat. Dengan pegangan yang kuat terhadap buah dadanya dan disertai jepitan kakiku di sekitar pahanya, kutekan penisku perlahan ke dalam liang vaginanya sampai mentok terganjal buah pantatnya. Walaupun sudah mentok, kudorong terus sekuat tenaga sampai tubuhnya terdekap dengan sangat kuat oleh tangan dan kakiku.

"Akhh.. Ohhh.. Ampuuunnn.." erangnya masih dengan malu-malu mengeluarkan ekspresi kenikmatannya. Kelihatannya dia juga hendak orgasme yang kedua kalinya. Kurasakan dia juga mendorong pantatnya dengan kuat agar batang zakarku lebih dalam masuk ke laing vaginanya.

"Akhh.." erangan suaraku sangat berat melepaskan spermaku ke liang vaginanya.
"Cabuuuttt.. Jang.. an.. Keeelluuaarrkhaann.. Di.. Dal.. lam.." katanya disaat spermaku muncrat didalam rahimnya tetapi sudah tidak kuperdulikan lagi. Spermaku terasa muncrat menembaki dinding rahimnya yang membuat banjir liang vaginanya.

"Aukhh.. Akhhh.. Oohhh.." tiba-tiba tubuhnya juga mengejang sampai melengkung ke depan. Kurasakan lagi semprotan cairan orgasmenya menyirami kepala penisku.
"Ahhh.." erangnya lagi di sisa-sisa orgasmenya sementara masih terasa kedutan vaginanya mengurut-urut batang zakarku.

Tubuh kami berdua melemas. Untuk sesaat masih kudekap tubuhnya dan membiarkan batang zakarku tetap terbenam didalam liang vaginanya. Kami berdua terdiam dan dia juga tidak memperdulikan suaminya lagi. Mungkin ini kenikmatan yang paling indah dia rasakan dengan tubuh yang terikat.

Beberapa saat kemudian kucabut penisku dari dalam vaginanya."Plop!" terdengar suara dari lubang vaginanya manakala penisku tercabut.

"Akhhh.." erangnya lagi merasakan gesekan penisku meninggalkan liang vaginanya. Segera kukenakan pakaianku. Sesaat kutatap mereka berdua.

"Maaf.. Pak, Bu, saya tidak bisa menahan diri," kataku sambil berlalu meninggalkan kamar itu.

Di tangga kudapati anak buahku mau menyusul aku. Mereka takut apa yang terjadi padaku di atas. Setelah kubilang semuanya aman dan terkendali, kami bergegas meninggalkan rumah itu dengan hasil yang paling besar artinya sepanjang karirku merampok. Sesaat kami hendak meninggalkan rumah itu, terdengar dari atas suara teriakan seorang perempuan.

"Rampoookk..!"

E N D

Oleh: dion79@eudoramail.com


Cerita Lain Tentang Mantan Muridku


Terima kasih atas berbagai macam tanggapan yang saya terima dari cerita pertama saya. Tapi saya tekankan bahwa saya mengirimkan cerita bukan karena maniak atau mencari kenikmatan yang lain. Karena selama saya berhubungan dengan Sandi, saya tidak pernah melakukan hubungan dengan laki-laki lain. Selain itu cerita yang saya buat bukanlah fiktif atau rekayasa, melainkan cerita nyata yang saya alami. Berikut merupakan kisah lain saya dengan Sandi.

*****

Sudah seminggu Sandi menjadi" suami"ku. Dan jujur saja aku sangat menikmati kehidupan malamku selama seminggu ini. Sandi benar-benar pemuda yang sangat perkasa, selama seminggu ini liang vaginaku selalu disiramnya dengan sperma segar. Dan entah berapa kali aku menahan jeritan karena kenikmatan luar biasa yang ia berikan.

Walaupun malam sudah puas menjilat, menghisap, dan mencium sepasang payudaraku. Sandi selalu meremasnya lagi jika ingin berangkat kuliah saat pagi hari, katanya sich buat menambah semangat. Aku tak mau melarang karena aku juga menikmati semua perbuatannya itu, walau akibatnya aku harus merapikann bajuku lagi.

Malam itu sekitar jam setengah 10-an. Setelah menidurkan anakku yang paling bungsu, aku pergi kekamar mandi untuk berganti baju. Sandi meminta aku mengenakan pakaian yang biasa aku pergunakan ke sekolah. Setelah selesai berganti pakaian aku lantas keluar dan berdiri duduk di depan meja rias. Lalu berdandan seperti yang biasa aku lakukan jika ingin berangkat mengajar kesekolah. Tak lama kudengar suara ketukan, hatiku langsung bersorak gembira tak sabar menanti permainan apa lagi yang akan dilakukan Sandi padaku.

"Masuk.. Nggak dikunci," panggilku dengan suara halus. Lalu Sandi masuk dengan menggunakan T-shirt ketat dan celana putih sependek paha.

"Malam ibu... Sudah siap..?" Godanya sambil medekatiku.
"Sudah sayang..." Jawabku sambil berdiri. Tapi Sandi menahan pundakku lalu memintaku untuk duduk kembali sembil menghadap kecermin meja rias. Lalu ia berbisik ketelingaku dengan suara yang halus.

"Bu.. Ibu mau tahu nggak dari mana biasanya saya mengintip ibu?"
"Memangnya lewat mana..?" Tanyaku sambil membalikkan setengah badan. Dengan lembut ia menyentuh daguku dan mengarahkan wajahku kemeja rias. Lalu sambil mengecup leherku Sandi berucap.

"Dari sini bu.." Bisiknya. Dari cermin aku melihat disela-sela kerah baju yang kukenakan agak terbuka sehingga samar-samar terlihat tali BHku yang berwarna hitam. Pantas jika sedang mengajar di depan kelas atau mengobrol dengan guru-guru pria disekolah, terkadang aku merasa pandangan mereka sedang menelanjangi aku. Rupanya pemandangan ini yang mereka saksikan saat itu.

Tapi toh mereka cuma bisa melihat, membayangkan dan ingin menyentuhnya pikirku. Lalu tangan kanan Sandi masuk kecelah itu dan mengelus pundakku. Sementara tangan kirinya pelan-pelan membuka kancing bajuku satu persatu. Setelah terbuka semua Sandi lalu membuka bajuku tanpa melepasnya. Lalu ia meraih kedua payudaraku yang masih tertutup BH.

"Inilah yang membuat saya selalu mengingat ibu sampai sekarang," Bisiknya ditelingaku sambil meremas kedua susuku yang masih kencang ini. Lalu tangan Sandi menggapai daguku dan segera menempelkan bibir hangatnya padaku dengan penuh kasih dan emosinya. Aku tidak tinggal diam dan segera menyambut sapuan lidah Sandi dan menyedotnya dengan keras air liur Sandi, kulilitkan lidahku menyambut lidah Sandi dengan penuh getaran birahi. Kemudian tangannya yang keras mengangkat tubuhku dan membaringkannya ditengah ranjang.

Ia lalu memandang tubuh depanku yang terbuka, dari cermin aku bisa melihat BH hitam yang transparan dengan "push up bra style". Sehingga memberikan kesan payudaraku hampir tumpah meluap keluar lebih sepertiganya. Untuk lebih membuat Sandi lebih panas, aku lalu mengelus-elus payudaraku yang sebelah kiri yang masih dibalut bra, sementara tangan kiriku membelai pussy yang menyembul mendesak CDku, karena saat itu aku mengenakan celana "mini high cut style".

Sandi tampak terpesona melihat tingkahku, lalu ia menghampiriku dan menyambar bibirku yang lembut dan hangat dan langsung melumatnya. Sementara tangan kanan Sandi mendarat disembulan payudara sebelah kananku yang segar, dielusnya lembut, diselusupkan tangannya dalam bra yang hanya 2/3 menutupi payudaraku dan dikeluarkannya buah dadaku. Ditekan dan dicarinya puting susuku, lalu Sandi memilinnya secara halus dan menariknya perlahan. Perlakuannya itu membuatku melepas ciuman sandi dan mendesah, mendesis, menghempaskan kepalaku kekiri dan kekanan.

Selepas tautan dengan bibir hangatku, Sandi lalu menyapu dagu dan leherku, sehingga aku meracau menerima dera kenikmatan itu.

"Saan... Saann... Kenapa kamu yang memberikan kenikmatan ini.."

Sandi lalu menghentikan kegiatan mulutnya. Tangannya segera membuka kaitan bra yang ada di depan, dengan sekali pijitan jari telunjuk dan ibu jari sebelah kanan Sandi, Segera dua buah gunung kembarku yang masih kencang dan terawat menyembul keluar menikmati kebebasan alam yang indah. Lalu Sandi menempelkan bibir hangatnya pada buah dadaku sebelah kanan, disapu dan dijilatnya sembulan daging segar itu. Secepat itu pula merambatlah lidahnya pada puting coklat muda keras, segar menentang ke atas. Sandi mengulum putingku dengan buas, sesekali digigit halus dan ditariknya dengan gigi.

Aku hanya bisa mengerang dan mengeluh, sambil mengangkat badanku seraya melepaskan baju dan rok kerjaku beserta bra warna hitam yang telah dibuka Sandi dan kulemparkan kekursi rias. Dengan giat penuh nafsu Sandi menyedot buah dadaku yang sebelah kiri, tangan kanannya meraba dan menjalar kebawah sampai dia menyentuh CDku dan berhenti digundukan nikmat yang penuh menentang segar ke atas. Lalu Sandi merabanya ke arah vertikal, dari atas kebawah. Melihat CDku yang sudah basah lembab, ia langsung menurunkannya mendororng dengan kaki kiri dan langsung membuangnya sampai jatuh ke karpet.

Adapun tangan kanan itu segera mengelus dan memberikan sentuhan rangsangan pada memekku, yang dibagian atasnya ditumbuhi bulu halus terawat adapun dibagian belahan vagina dan dibagian bawahnya bersih dan mulus tiada berambut. Rangsangan Sandi semakin tajam dan hebat sehingga aku meracau.

"Saaan.. Sentuh ibu sayang, .. Saann buat.. Ibu terbaang.. Pleaase."

Sandi segera membuka gundukan tebal vagina milikku lalu mulutnya segera menjulur kebawah dan lidahnya menjulur masuk untuk menyentuh lebih dalam lagi mencari kloritasku yang semakin membesar dan mengeras. Dia menekan dengan penuh nafsu dan lidahnya bergerak liar ke atas dan kebawah. Aku menggelinjang dan teriak tak tahan menahan orgasme yang akan semakin mendesak mencuat bagaikan merapi yang ingin memuntahkan isi buminya. Dengan terengah-engah kudorong pantatku naik, seraya tanganku memegang kepala Sandi dan menekannya kebawah sambil mengerang.

"Ssaann.. Aarghh.."

Aku tak kuasa menahannya lagi hingga menjerit saat menerima ledakan orgasme yang pertama, magma pun meluap menyemprot ke atas hidung Sandi yang mancung.

"Saan.. Ibu keluaa.. aar.. Sann.." Memekku berdenyut kencang dan mengejanglah tubuhku sambil tetap meracau.
"Saan.. Kamu jago sekali memainkan lidahmu dalam memekku sayang.. Cium ibu sayang."

Sandi segera bangkit mendekap erat diatas dadaku yang dalam keadaan oleng menyambut getaran orgasme. Ia lalu mencium mulutku dengan kuatnya dan aku menyambutnya dengan tautan garang, kuserap lidah Sandi dalam rongga mulutku yang indah. Tubuhku tergolek tak berdaya sesaat, Sandipun mencumbuku dengan mesra sambil tangannya mengelus-elus seluruh tubuhku yang halus, seraya memberikan kecupan hangat didahi, pipi dan mataku yang terpejam dengan penuh cinta. Dibiarkannya aku menikmati sisa-sisa kenikmatan orgasme yang hebat. Juga memberi kesempatan menurunnya nafsu yang kurasakan.

Setelah merasa aku cukup beristirahat Sandi mulai menyentuh dan membelaiku lagi. Aku segera bangkit dan medorong belahan badan Sandi yang berada diatasku. Kudekatkan kepalaku kewajahnya lalu kucium dan kujilati pipinya, kemudian menjalar kekupingnya. Kumasukkan lidahku ke dalam lubang telinga Sandi, sehingga ia meronta menahan gairahnya. Jilatanku makin turun kebawah sampai keputing susu kiri Sandi yang berambut, Kubelai dada Sandi yang bidang berotot sedang tangan kananku memainkan puting yang sebelah kiri. Mengelinjang Sandi mendapat sentuhan yang menyengat dititik rawannya yang merambat gairahnya itu, sandipun mengerang dan mendesah.

Kegiatanku semakin memanas dengan menurunkan sapuan lidah sambil tanganku merambat keperut. Lalu kumainkan lubang pusar Sandi ditekan kebawah dan kesamping terus kulepaskan dan kubelai perut bawah Sandi sampai akhirnya kekemaluan Sandi yang sudah membesar dan mengeras. Kuelus lembut dengan jemari lentikku batang kemaluan Sandi yang menentang ke atas, berwarna kemerahan kontras dengan kulit sandi yang putih kepalanya pun telah berbening air birahi.

Melihat keadaan yang sudah menggairahkan tersebut aku menjadi tak sabar dan segera kutempelkan bibir hangatku kekepala kontol Sandi dengan penuh gelor nafsu, kusapu kepala kontol dengan cermat, kuhisap lubang air seninya sehingga membuat Sandi memutar kepalanya kekiri dan kekanan, mendongkak-dongkakkan kepalanya menahan keikmatan yang sangat tiada tara, adapun tangannya menjambak kepalaku.

"Buuu.. Dera nikmat darimu tak tertahankan.. Kuingin memilikimu seutuhnya," Sandi mengerang. Aku tidak menjawabnya, hanya lirikan mataku sambil mengedipkannya satu ke arah Sandi yang sedang kelejotan. Sukmanya sedang terbang melayang kealam raya oleh hembusan cinta birahi yang tinggi. Adapun tanganku memijit dan mengocoknya dengan ritme yang pelan dan semakin cepat, sementara lidahku menjilati seluruh permukaan kepala kontol tersebut. Termasuk dibagian urat yang sensitif bagian atas sambil kupijat-pijat dengan penuh nafsu birahi.

Sadar akan keadaan Sandi yang semakin mendaki puncak kenikmatan dan akupun sendiri telah terangsang. Denyutan memekku telah mempengaruhi deburan darah tubuhku, kulepaskan kumulan kontol Sandi dan segera kuposisikan tubuhku diatas tubuh Sandi menghadap kekakinya. Dan kumasukkan kontol Sandi yang keras dan menegang ke dalam relung nikmatku. Segera kuputar memompanya naik turun sambil menekan dan memijat dengan otot vagina sekuat tenaga. Ritme gerakanpun kutambah sampai kecepatan maksimal.

Sandi berteriak, sementara aku pun terfokus menikmati dera kenikmatan gesekan kontol sandi yang menggesek G-spotku berulang kali sehingga menimbulkan dera kenikmatan yang indah sekali. Tangan Sandipun tak tinggal diam diremasnya pantatku yang bulat montok indah, dan dielus-elusnya anusku, sambil menikmati dera goyanganku pada kontolnya. Dan akhirnya kami berdua berteriak.

"Buu Dennook.. Aku tak kuat lagi.. Berikan kenikmatan lebih lagi bu.. Denyutan diujung kontolku sudah tak tertahankan"
"Ibu pandai... Ibu liaarr... Ibu membuatku melayang.. Aku mau keluarr" .

Lalu Sandi memintaku untuk memutar badan manghadap pada dirinya dan dibalikkannya tubuhku sehingga. Sekarang aku berada dibawah tubuhnya bersandarkan bantal tinggi, lalu Sandi menaikkan kedua kakiku kebahunya kemudian ia bersimpuh di depan memekku. Sambil mengayun dan memompa kontolnya dengan yang cepat dan kuat. Aku bisa melihat bagaimana wajah Sandi yang tak tahan lagi akan denyutan diujung kontol yang semakin mendesak seakan mau meledak.

"Buu... Pleaass.. See.. Aku akaan meleedaaakkh!"
"Tungguu Saan.. Orgasmeku juga mauu.. Datang ssayaang.. Kita sama-sama yaa.."

Akhirnya... Cret.. Cret.. Cret tak tertahankan lagi bendungan Sandi jebol memuntahkan spermanya di vaginaku. Secara bersamaan akupun mendengus dan meneriakkan erangan kenikmatan. Segera kusambar bibir sandi, kukulum dengan hangat dan kusodorkan lidahku ke dalam rongga mulut Sandi. Kudekap badan Sandi yang sama mengejang, basah badan Sandi dengan peluh menyatu dengan peluhku. Lalu ia terkulai didadaku sambil menikmati denyut vaginaku yang kencang menyambut orgasme yang nikmat yang selama ini kurindukan.

Lalu Sandi membelai rambutku dengan penuh kasih sayang kemudian mengecup keningku.

"Buu.. Thank you, i love you so much.. Terus berikan kenikmatan seperti ini untukku ya.." Bisiknya lembut.

Aku hanya mengangguk perlahan, setelah memberikan ciuman selamat tidur aku memeluknya dan langsung terlelap. Karena besok aku harus masuk kerja dan masih banyak lagi petualangan penuh kenikmatan yang akan kami lalui.


E N D

Oleh: Garis_tubuhku@yahoo.com


Gelora di Bukit Tandus


Entah harus dari mana memulainya, yang jelas, sebagai penggemar baru situs 17Tahun.com, aku tak tahan juga, memendam cerita seputar pengalaman seks yang pernah ku alami, sejak aku di lahirkan hingga usiaku genap mencapai 30 tahun.

Meski bukan barang baru yang ingin ku tuturkan, setidaknya bisa sedikit meluruhkan rasa sesal dan kekalutan yang selama ini terus menteror nurani. Mungkin terdengar agak kampungan, atau ketinggalan jaman barangkali, tapi satu hal yang pasti perang batin ini nyaris senantiasa menggelayut di dalam kalbu.

Pembaca sekalian, mohon maaf jika dalam penyampaian cerita ini, ada aroma ketidak jujuran dan pengkhianatan atas nama keluarga, kebaikan dan harga diri.

*****

Angin berhembus kencang di padang rumput yang ramai oleh celoteh nakal bocah-bocah kecil yang riuh menggiring ternak-ternak piaraan, di dusun kecil di pelosok Bojonegoro, sebuah kota kabupaten di Jawa Timur. Aku, sebut saja namaku Jack, dengan bertelanjang dada dan kaki tanpa alas sandal, larut dalam kegembiraan bersama teman-teman kakak-kakak sepupuku. Aku yang terkecil di komunitas itu. Yang mampu ku ingat, usia ku baru 5 tahun saat itu. Sementara saudara-saudaraku yang lain, setidaknya 2 atau 3 tahun lebih tua dariku.

"Le, ayo ndang bali!" terdengar teriakan kakak perempuanku Sekar, memintaku bergegas untuk pulang. Kami bersaudara, sangat akrab antara yang satu dengan yang lain. Sekar adalah anak tertua dari bu Dhe, kakak ibuku. Ia tergopoh-gopoh menghampiriku, sambil berusaha menjangkau lengan kecilku yang licin oleh tetesan peluh.

"Ada apa kog mesti buru-buru pulang?" kataku menggerutu, sambil berusaha untuk mengeraskan pijakan kaki, pertanda aku enggan berlalu.
"Lho... Opo durung ngerti yen Simbah arep tindak menyang Semarang?" ["Lho, apa belum tahu kalau Nenek mau pergi ke Semarang?"-pen.]
"Enggak..." jawabku asal saja, karena aku masih kesal saat di paksa pulang bersama kak Sekar.

Sebetulnya, aku sudah tahu rencana Nenek yang hendak pergi ke Semarang untuk menengok salah satu cucunya yang ada di kota itu. Kebetulan, saat itu ada libur satu minggu dari Sekolah, setelah usai ulangan catur wulan ke 2. Tentu saja maksud penjemputanku adalah untuk diajak serta oleh Nenek pergi menemaninya ke Semarang.

"Males Mbak, aku penginnnya main-main sama Mas Yogi, Mas Simin dan teman-teman yang lain," rontaku dengan lagak acuh tak acuh setengah memohon, agar aku di perkenankan tidak mengikuti Vacancy [begitu biasanya Nenek menyebut liburan-pen. ].

Tampaknya usahaku tak ada hasil, mengingat Mbak Sekar masih saja tetap menggengam lengan ku, bahkan kurasakan agak lebih kencang dari sebelumnya, pertanda itu adalah harga mati yang tak mungkin bisa ditawar-tawar lagi. Rasanya tak ada gunanya lagi meronta, yah... Terpaksa deh pasrah.

Sesampai di rumah, ku lihat Nenek sudah tampak rapi bersiap untuk segera pergi. Dari kejauhan, nampak Ia sibuk mempersiapkan barang-barang yang harus di bawa nanti. Aku tersenyum kecut, penuh rasa takut campur malu, saat suara nenek menggelegar memecahkan keheningan suasana.

"Dolan wae, ayo gek ndang cepet adus, terus melu Simbah" begitu nampak olehnya batang hidungku.
"Sini, kakak mandiin," ujar kak Sekar menawarkan bantuan.
"Ah.. Enggak, aku mandi sendiri"

Aneh, untuk apa aku mesti malu sama dia? Bukankah aku masih kecil? Tapi aku tak mau berlama-lama. Segera saja aku menyiram tubuhku dengan air, begitu aku berada di kamar mandi. Sambil mengangkat gayung, lamunanku pun melayang mengingat kejadian semalam. Tak terasa aku bergidik jika membayangkan hal itu terjadi.

Malam itu, mendung tebal menggelayut di pekatnya langit. Tak nampak satu bintangpun di angkasa. Aku yang saat itu usai menonton siaran TV hitam putih, merasakan udara begitu panas, membuat suasana menjadi gerah, kurang nyaman.

"Wah... Pasti mau turun hujan nih," pikirku.

Saat itu, di kampung kami belum ada listrik, jadi untuk penerangan di malam hari, kami biasa menggunakan lampu petromak. Sementara kalau buat belajar, kami memakai lampu yang lebih redup, lampu teplok namanya. Entah karena ceroboh, atau memang takdirku, aku yang saat itu ingin meminjam karet penghapus ke Mbak Sekar, langsung saja nyelonong masuk ke kamar Mbak Sekar yang saat itu baru saja berganti pakaian tidur.

"Mbak..." aku tercekat tak mampu meneruskan kalimatku saat ia ku lihat juga sangat terkejut melihat kehadiran ku, yang sama sekali tak di duga-duga. Mulutnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi entah, karena yang ada adalah kebisuan semata. Kami membeku oleh rasa takjub. Kalau aku tentu saja takjub karena mendapat pemandangan paliiing mendebarkan, sementara Mbak Sekar karena tak menyangka adik sepupunya tiba-tiba hadir di saat 'kritis' semacam itu, hingga membuatnya T E R P A N A.

"Aduh... mati aku," hanya itu yang ia ucapkan pertama kali setelah tersadar dari keterkejutannya. Selanjutnya tangan-tangannya bergerak cepat berusaha menutupi tubuh 3/4 telanjangnya. Yang kumaksud yang tidak terbuka dari permukaan tubuhnya hanyalah separuh payudara dan celana dalam warna gelap, yang belum sepenuhnya tepat terpasang di pangkal pahanya.

Temaram lampu teplok yang menempel di dinding dekat meja belajar Mbak Sekar, memberiku cukup sinar menjelajahi ruang pandang yang tergelar di radius satu meter di depanku. Beha Mbak Sekar baru tergantung separuh di satu pundaknya, sementara tali satunya menjuntai di dada kirinya. Dan....

"Itu apa Mbak?" tanyaku polos, saat melihat kain kecil tersumpal di dalam kutangnya yang sebelah kanan. Gumpalan yang tampaknya seperti sepotong handuk kecil yang biasanya di pakai buat saputangan itu, secara tak terduga menyembul keluar dari dalam gundukan di dada kanannya. Sementara kakakku masih terbengong-bengong atas 'musibah' itu, tak terkendali mataku nyalang menjelajah seluruh area yang masih terjangkau sinar lampu berbahan bakar minyak tanah itu.

"Nah, ini dia Mbak," gumamku tanpa rasa bersalah, saat aku temukan gumpalan kain berikutnya, yang tentu saja mirip dengan yang terpasang di cekungan kutangnya. Aku pungut benda itu yang masih teronggok tak berdaya di dekat kaki mesin jahit merk Singer, yang di pasang sejajar meja belajar Mbak Sekar. Saat kuangsurkan benda itu ke tangannya, ia nampak terhipnotis, orang jawa bilang. 'Kamitenggengen'!!

"Lho kog diam saja Mbak?"

Aku jadi bingung melihat situasi ini. Yang ku tahu, Mbak yang satu ini sangat dekat denganku, di banding Mbak Dwi, Mbak Erna atau Mbak Asih. Setiap saat hampir dia yang selau ada di dekatku, menyuapi aku makan, mengajakku bermain atau memandikanku. Tentu saja aku jadi bingung melihat ia membisu seribu bahasa. Mungkin ini yang di sebut dengan Shock! Ah.. Masa bodoh, aku toh tidak bisa seratus persen boleh di salahkan. Lagi pula siapa yang suruh ganti baju pintunya tidak di kunci. Untuk mencairkan suasana, aku berinisiatif membantu Mbak Sekar memakai perlengkapan pakaiannya kembali.

"Mbak, kenapa anak perempuan harus pakai kain untuk menutupi dadanya?"
"Kan kalau di taruh kain di dada jack rasanya geli Mbak?" tanyaku ingin tahu.

Meski saat itu aku baru lima tahun, tapi keingin-tahuanku atas banyak hal sangat besar. Bahkan saat aku masih umur 2,5 tahun aku sudah hafal menghitung 1 sampai 100. Dan beberapa hal lain semakin menonjol, seiring bertambahnya usia. Aku mulai membaca dan bisa menulis di umur 3 tahun 7 bulan. Hingga di usiaku yang ke lima tahun, aku sudah terlihat seperti anak SD kelas 4, dalam hal kemampuan akademik. Hanya saja, ada keganjilan yang kurasakan. Untuk ukuran sebayaku, sebenarnya tak layak kalau ada yang punya pikiran untuk selalu tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan pornografi.

Sebenarnya, perasaan tergila-gila pada seks itu muncul di usia 4 tahun. Saat itu, aku senang bila saat di mandikan ibuku memainkan tititku untuk di sabun. Biasanya saat-saat seperti itu adalah saat favoritku. Aku merasa geli campur nikmat. Dan tanpa ada ibuku pun aku sering tanpa sadar memilin penisku jika terasa agak gatal. Meski sesudahnya terasa agak perih, tapi aku sangat menikmatinya. Kurasa baru itu 'starter kit' yang aku punya. Selanjutnya, peristiwa mbak Sekar, membuka cakrawala baru pernak-pernik seksualitas.

"Sini kainnya," ujarnya mengagetkanku, yang dengan tanpa persetujuanku, merebut gumpalan kain yang masih dalam genggamanku. Tapi, tiba-tiba pikiran nakalku muncul untuk menggoda Mbak Sekar. Aku berlari berputar-putar di bilik kamarnya, menghindari sergapan kakakku. Rupanya, hilang juga kesabarannya, dan ia tak mau lagi mencoba menangkapku. Dengan gontai ia berjalan memunggungi aku, tak berusaha merebut kain sumpal kutang nya.

"Kena..!" kataku sambil merangkul kak Sekar dari belakang dan berusaha menggapai dadanya dari belakang. Kami biasa main gendong-gendongan dari belakang.
"Aduuuh," jerit kak Sekar mematahkan suara guntur yang datang hampir bersamaan.

Seisi rumah tentu saja heboh!!! Mereka pikir petir telah menyambar kakakku. Pak Dhe, Bu Dhe, Nenek dan Mbak Dwi bergegas mendatangi kamar Mbak Sekar. Tentu saja kami jadi panik karena seisi rumah panik. Disusul lagi dengan hujan yang turun seperti tercurah dari tempayan raksasa, masing-masing sibuk mencari timba untuk menangkal atap yang mulai bocor di sana-sini, maklum ruamah di desa, apalagi usianya sudah seumuran kakekku yang sudah meninggal.

"Uuh hampir saja kita jadi sasaran omelan Nenek, Ibu dan Bapak. Untung saja segera turun hujan".
"Tadi kenapa menjerit Mbak?" aku jadi penasaran.

Di usianya yang ke sebelas tahun, Mbak Sekar tampak tumbuh pesat melebihi teman sebayanya. Wajahnya tampak semakin cantik, dengan hidung mancung dan bibir kemerahan seperti habis makan sambal. Orang bilang ranum. Kadang aku suka tersinggung dan menjadi sangat marah jika ada pemuda yang coba-coba menganggu Mbak Sekar. Biasanya, mereka sambil bersiul di tempat mereka nongkrong, mengeluarkan kata-kata yang jorok, hingga seringkali Mbak Sekar hampir menangis bila kebetulan lewat dan di goda secara keterlaluan oleh mereka.

"Neng, sini dong, kumpul sama kita-kita, soalnya aku... Padamuuu" kata salah seorang dari mereka sembari membuat isyarat berbentuk daun waru dengan kedua tangannya. Atau,
"Wah.. Biar masih kecil, putri pak Marto, boleh juga goyang pinggulnya, bikin aku dag dig dug dag dig dug... Ha ha ha." kadang bahkan terdengar menyakitkan di telinga orang beradab.
"Wis pokoke, selawe ewu wani.. Ha ha ha ["Ya.. Dua puluh lima ribu berani deh..." -pen].

Kalau sudah begitu, biasanya, aku akan langsung mencak-mencak membela Mbak Sekar. Terkadang aku sendiri jadi bingung, kenapa aku begitu antusias jika menghadapi Mbak Sekar, entah apa namanya, yang jelas di benak anak kecil sepertiku, aku selalu ingin merasa dekat dengannya. Sebagai ganti pengasuhku, Mbak Sekar memang istimewa. Dia penuh perhatian dan sangat lembut. Meski statusku ikut Nenek dan bu dhe ku, sebab ke dua orang tuaku merantau ke luar jawa, tapi terutama aku sangat dekat dengan Mbak Sekar.

Jack.." ujarnya lirih, "Kamu tahu kenapa Mbak menyumpal kain ke Beha Mbak?"
Aku menggeleng tanda tak tahu. "Itu karena Mbak merasa kesakitan sebab susu Mbak baru tumbuh."

Aku terdiam tak bisa berkata-kata. Napasnya terdengar teratur, terbukti dari helaan di dadanya yang turun naik dengan lembut. Untungnya suasana sangat mendukung hingga semua penghuni rumah tak mengganggu kami lagi. Mungkin mereka sibuk dengan proyek 'mengatasi kebocoran' atau memang telah terkurung di kamar masing-masing, menikmati dinginnya musim penghujan di penghujung bulan januari. Yang jelas aku makin tak perduli. Ku dekatkan tubuhku ke bibir ranjang di mana Mbak Sekar berada.

"Dingin ya Mbak" gumamku mencari dalih agar aku di dekap Mbak Sekar, hal yang senantiasa ia lakukan bila melihatku agak menggigil selepas di mandikan. Benar dugaanku, Mbak Sekar, segera beringsut menggapai tubuhku yang memang kurasa agak mulai merinding terserang hawa dingin. Kedua tangannya mulai bergerak merangkul bahuku, dan menekan tubuh mungilku ke tubuhnya. Tapi... Lagi-lagi...

"Auh.. Sakit!"
"Wah.. Kesenggol lagi ya Mbak?" tanyaku sambil mencoba bangkit, meneliti tangan mana yang telah kurang ajar menyakiti payudara Mbak Sekar. Di sela nyeri menahan sakit. Mbak Sekar tersenyum melihat kelakuanku.
"Essh.. Jangan tangannnya yang disalahkan, tapi kepala jack yang telah menyenggolnya," ucapnya sambil mendesis lirih menahan nyeri.

Rasa penasaran menuntunku berani memperhatikan payudara Mbak Sekar lebih dekat. Meski hampir sepenuhnya terbuka, akibat insiden tadi, terus terang aku tidak bisa melihat dengan jelas. Biang keladinya tentu saja sinar lampu teplok yang tak seterang lampu jaman Sekarang. Jadi meski sudah memicingkan mata, tetap saja obyek yang sedang ku amati tampak kabur.

Aku jadi penasaran, ingin tahu seperti apa penyakit yang di derita oleh Mbak Sekar. Makanya aku langsung mengambil inisiatif mendekatkan lampu teplok di dinding ke arah meja dekat ranjang Mbak Sekar. Nah, ini baru jelas, bahkan urat kehijauan di dekat lingkar putingnya nampak sangat atraktif membentuk kali grafi alamiah.

"Ehh.. Jangan terlalu dekat, nanti rambut Mbak kebakar," tentu saja ucapannya hanya bercanda, tapi tetap saja aku kaget di buatnya, hingga tak kusadari aku secara reflek menjauhkan lampu teplok itu dari meja. Tapi rasa penasaran yang belum tertuntaskan, membuatku enggan menjauhi tubuh Mbak Sekar.

"Masih terasa sakit ya Mbak?" tanyaku, yang tanpa meminta persetujuan darinya mencoba meraba benjolan di dada Mbak Sekar.
"Aduh... bukan begitu cara memegangnya," kembali Mbak Sekar menjerit lirih saat pangkal putingnya teraba jariku. Aku memang kurang sabaran saat berusaha menjangkau payudaranya. Ku pikir toh tak ada bedanya kalau aku juga lagi memegang 'payudaraku' sendiri.

"Jack, anak perempuan dengan anak laki-laki berbeda. Kalau Mbak punya payudara, kamu hanya punya puting susu, yang tidak akan sebesar punya Mbak nantinya," sambil berkata, tangannya menjangkau tubuh bagian depanku, tepat di dadaku, dan dengan lembut membelai puting susuku yang masih tertutup oleh kaos bergambar tokoh kartun Flash Gordon. Di perlakukan demikian, aku menggelinjang kegelian karena, jangankan puting susuku yang di raba, tangan, kaki, perut atau bahkan rambut di kepalaku, akan terasa sangat geli jika tersentuh orang lain. Reflek, Mbak Sekar mencoba menutupi mulutku dengan telapak tangannya, begitu melihat gejala aku nyaris terpingkal karena kegelian.

"Pssst, jangan ketawa... berisik," bisiknya sambil berusaha menenangkanku. Kali ini bukan saja tangan kanannya yang membekap mulutku, tapi tangan satunya tak terasa mulai mengelus punggung dan bahuku. Sejenak aku merasa tenang, dan perlahan aku kembali berusaha menggapai payudara Mbak Sekar. Tapi kali ini lebih lembut dan penuh penghayatan.

"Shhh... Uhhh," ia mendesah.

Aku tak tahu apakah ia merasa sakit, atau kegelian. Yang pasti aku mulai menyukai aktivitas baru ini. Sayup-sayup aku seperti mendengar gumaman tidak jelas dari dalam mulutnya.

"Coba dari tadi cara mengusapnya begini, Mbak nggak akan merasa sakit," bisiknya lagi nyaris tak bisa kudengar, karena suara hujan yang di tingkahi gelegar petir, terkadang membuat pembicaraan kami sering terinterupsi.
"Mbak lihat, 'burungku' jadi berdiri!," seraya menunjukkan benjolan di celanaku.

Mbak Sekar cuma tersenyum. Tapi ia sama sekali tak bereaksi atas kejadian itu. Tentu saja aku jadi kesal karena merasa di cuekin. Serta merta, aktvitasku kuhentikan sebagai bentuk protes atas perlakuan yang telah kuterima. Mbak Sekarpun jadi bingung tak tahu mesti berbuat apa. Kelak di kemudian hari, baru aku tahu, ternyata ia sama begonya denganku, tak mengerti mesti melakukan apa bila hal itu terjadi. Yah.. Maklum, anak kecil, masih buta soal seks.

"Jack... Mau kemana?" tanyanya saat tahu aku bergegas ingin meninggalkan biliknya. Aku tak menjawab, dan langsung berlari, meninggalkannya.

Saat itu aku benar-benar tersiksa. Coba bayangkan, bagaimana tidak nyamannya, bila penis kita tegang terus menerus, tanpa tahu harus diapakan. Kepala penisku terasa menyundul- nyundul, kain resleting celana pendekku. Biasanya, aku juga sering ereksi bila bangun di pagi hari, tapi akan hilang dengan sendirinya bila telah buang air kecil, atau terguyur oleh air dingin. Tiba-tiba aku seperti di ingatkan, kenapa tak kucoba cara ini buat mengatasi 'ngaceng' yang kebablasan ini?

Pertama-tama tentu saja aku berusaha ke kamar mandi guna memaksa si 'kecil' ini untuk bisa kencing. Ternyata tak mudah 'mengencingkan diri' bila memang tak ingin buang air kecil. Langkah selanjutnya tentu saja, merendam nya ke dalam gayung berisi air dingin, dengan harapan.Ia segera layu dan tertidur pulas layaknya sebelum terstimulasi. Akhirnya, dengan putus asa, aku terpaksa membawa 'si otong' yang basah kuyup tapi tetap tegak menantang, ke bilik tidurku sendiri.

Berjingkat aku masuk ke bilikku, takut mengganggu nenek yang sedang tidur. Aku memang masih tidur dengan nenekku, di ranjang besar terbuat dari kayu jati yang sudah tampak usang. Aku perhatikan dengan seksama raut muka nenek yang keriput di makan usia. Saat peristiwa itu terjadi, Nenek berusia 70 tahun atau lebih. Ke mana-mana menggunakan tongkat, untuk menyangga tubuhnya yang mulai membungkuk, tapi soal vitalitas, jangan tanya! Orang bilang, mungkin ini yang di sebut Post-powersyndrome.

Lagaknya masih seperti ketika ia muda di jaman Tempo Doeloe. Dulunya, ia bekas istri seorang Ambtenaar, makanya masih sering menunjukkan prilaku layaknya pejabat. Di rumah, dialah sang penguasa. Tak seorangpun yang berani menatapnya kala ia berkata-kata, atau membantahnya, saat ia memberi perintah. Ucapannya adalah hukum yang harus di patuhi! Meski telah sangat pelan aku menaiki tempat tidur tersebut, tak urung, pendengaran nenek yang masih sepeka Radar, mampu mendeteksi kedatanganku.

"Dari mana saja kog nggak cepat tidur?!" nadanya bertanya sekaligus menghardik.
"Dari kamar mandi," jawabku sekenanya.

Ah, paling juga enggak akan ada pertanyaan lagi, seperti biasanya kalau lagi nanyain aku menjelang tidur. Dugaanku tak salah, Nenek tak melanjutkan lagi intrograsinya. Phew... Aman. Akupun mencoba berbaring di samping Nenek, membelakangi punggungnya. Rinai hujan di luar rumah masih terdengar agak riuh, meski tak selebat tadi. Tapi tetap saja ada yang terasa mengganjal di sela-sela selangkanganku. Ya, penisku belum mampu ku tidurkan. Aku berusaha tak melakukan apa-apa, mencoba mencueki keadaan itu, dengan dua tujuan;

1. Biar penisku tahu rasa; "Emang enak di cuekin?"
2. Menciptakan suasana kondusif, aman terkendali, dan meminimalisir resiko dari pantauan dan pemeriksaan Nenek, yang mungkin saja terbangun dan melakukan investigasi, bila aku masih saja berulah, berusaha memadamkan 'ketegangan' penisku.

Suasana sepi yang memagut, memaksaku untuk terpejam, meski terasa sulit. Dan selalu, seperti malam-malam sebelum malam itu, aku seperti merasakan ada gerakan kecil, menimbulkan suara gemeretak di alas tidur yang ku tempati. Seperti telah ku paparkan, ranjang kayu jati yang kutempati, memang telah usang. Makanya, gerakan sekecil apapun, akan menimbulkan bunyi berderit atau gemeretak karena engsel sambungan kayunya telah longgar.

Mulanya aku tak pernah mempedulikan hal itu, ku anggap itu hal wajar yang memang seharusnya terjadi pada perabotan kayu yang menjelang lapuk. Tapi, yang ini benar-benar mendebarkan. Saat setengah sadar ada suara aneh yang senantiasa terulang tiap malam, ternyata adalah gerakan Nenek yang tengah mencabut sesuatu dari sela-sela kain batiknya.

Posisinya yang telentang, tampak mengangkang, dengan posisi lutut tertekuk ke atas, tetapi masih mengenakan jarik [kain batik khas jawa-pen], sehingga secara sekilas akan menyamarkan aktivitas di balik kain yang di kenakan. Malam itu, jantungku berdetak 3 kali lebih kencang dari biasanya. Tanpa sedikitpun bergerak, aku coba mengamati apa yang telah di lakukan Nenek. Tampaknya Ia tak menyadari bahwa aku tengah mengintai dari balik sarung yang ku gunakan sebagai selimut.

Awalnya hanya ingin tahu saja, apa yang telah di lakukan Nenek, tapi, aku justru terasa makin menderita. Saat menjelang tidur, telah ku ceritakan bagaimana perjuangan ku mencoba menundukkan penisku yang menegang. Sebenarnya hal itu tak menggangguku lagi, begitu aku terlelap. Tapi kini, di suguhi pemandangan yang luar biasa ini, mau tak mau aku mesti menanggung resiko merasakan kemaluanku berdenyut lebih kencang dan tentu saja, lebih menyakitkan karena terbungkus kain celana pendekku.

"Uuh.. Sial benar," tukasku menggerutu.

Ingin rasanya secepatnya melepas penjara bagi kemaluanku yang tampaknya menegang tak terkendali, bahkan kalau boleh jujur, sebenarnya telah sampai pada fase. Ngilu dan menyakitkan. Ini akan sangat dilematis bagiku. Membiarkannya, berarti neraka, tapi kalau untuk melepasnya, jelas hal yang tak mungkin, mengingat sekecil apapun gerakan tak wajarku, Nenek akan curiga, dan show nya pasti sertamerta b e r a k h i r. Yang pasti, aku nggak ingin ini terjadi, nggak ingin.

Lagi-lagi tangan keriput itu menelusup di balik kain Kemben [sejenis assesoris pakaian adat jawa-pen], yang ternyata telah di longgarkan ikatannya, sehingga dengan mudahnya, tangan Nenek keluar masuk di sekitar pangkal pahanya. Begitu telah sampai di kemaluannya, tangan itu berhenti agak lama di situ. Aku hanya bisa menduga-duga, barangkali ada sesuatu yang di cari oleh nenek di situ. Tentu saja perkiraanku ini di dasari oleh kenyataan, ketika terasa ada sentakan khas, yang sebenarnya membuat suara ranjang berderit, nenek segera mengangkat tangan itu dan mendekatkan ke hidungnya, seperti sedang mencium sesuatu di antara jari telunjuk dan ibu jarinya. Dan setelah hidungnya mengendus-ngendus, kembali tangannya menelusup.

Aku benar-benar menggigil saat itu. Ku rasa kulit tubuhku mulai meriang, panas dingin, seperti ketika menjelang sakit influenza. Bahkan aku mulai nampak berkeringat di sekujur tubuhku, di tengah dinginnya malam di musim penghujan yang sebenarnya terasa menggigit. Benar-benar ujian kejiwaan sekaligus santapan bagi fantasi liarku yang pertama. Aku mengatupkan gigi rapat-rapat, berusaha menyembunyikan deru nafasku yang memburu, yang sebenarnya kedua lubang hidungku, telah tak mampu menjadi saluran bagi derasnya aliran udara yang keluar masuk melebihi kapasitas normalnya. Dan parahnya lagi, oksigen yang kuhisap pun seperti bercampur bara, terasa panas dan menyesakkan.

Berkali-kali, aku menelan ludah, berusaha membasahi kerongkonganku yang terus menerus menjadi kering, karena sapuan angin panas yang semakin tak teratur ku keluarkan, kadang lewat hidung, kadang lewat mulut, hingga membuatku sering tersengal karenanya. Barangkali ini yang di sebut tersiksa tapi nikmat. Kadang, memang batas antara siksaan dan kenikmatan sangatlah tipis.

Setelah agak mampu menguasai diri, meski tak sepenuhnya, kembali perhatianku ku tumpahkan ke aktivitas Nenek. Tampaknya, sejenak ia mengurangi intensitasnya, bahkan, perlahan-lahan Ia bangkit, membetulkan kainnya, dan berjalan gontai meninggalkan kamar.

Dari dalam kamar ku dengar Dia tengah bercakap dengan Pak Dhe, yang rupanya belum bisa tidur dan kebetulan berpapasan dengan nenek, yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rupanya Nenek tadi kebelet pipis. Aku tak tahu persis apa yang mereka perbincangkan, tetapi ini adalah kesempatan bagiku, untuk segera mengakhiri rasa sakit di selangkanganku yang terjepit oleh kain celana pendekku sendiri.

Cepat-cepat, kubuka celanaku, dan segera ku sembunyikan di bawah bantalku, Penisku yang masih tegang belum mau mengendor, meski telah ada jeda pertunjukan. Tapi itu kini tak lagi menyiksaku. Nenek datang beberapa saat, setelah aku memposisikan diri seperti semula, sama seperti saat ia pergi meninggalkan kamar. Sekilas, Ia memandang, posisi tidurku, dan, seperti tak terjadi apa-apa, mungkin setelah meyakinkan dirinya, bahwa aku tak mengetahui apa yang di lakukannya.

Wah... kalau yang ini siksaan tahap kedua, aku jadi begitu tegang menunggu episode kedua. Sementara Nenek, rupanya belum ada keinginan melanjutkan aksinya. Aku sendiri sebenarnya sudah agak mengantuk, tapi, demi sesuatu yang bisa bikin aku panas dingin, aku rela menunggu.

Theng.. Theng.. Theng... Jam dinding berdentang tiga kali, pertanda sudah mendekati subuh, aku gelisah dalam penantian menunggu aksi spektakuler berikutnya. Aku pikir, setelah sekian lama tak ada lagi pertanda aksi berlanjut, aku memutuskan mengakhiri petualangan mengintipku. Tapi... tiba-tiba di tengah deraan kantuk yang begitu hebat, T e r j a d i!

Perlahan.... tangan nenek membuka ikatan kemben yang di kenakannya. Aku bisa menebak kelanjutan dari babak pertama ini, tangan itu akan perlahan-lahan menelusup ke sela- selaselangkangannya, berhenti beberapa saat di situ, mencari sesuatu, kemudian ada gerakan sedikit menyentak, dan tangan itu di dekatkan ke lobang hidungnya, di cium di kibaskan dan kembali ke ritme semula.

Tapi kali ini, aku tak mau terjebak ke dalam rutinitas menjemukan seperti yang sudah ku lihat sebelumnya, sebab yang bikin dag dig dug sebenarnya tak lebih karena rasa keinginan tahuan belaka. Aku mulai berinisiatif, karena timing nya memang tepat. Menjelang fajar seperti ini, ternyata, bukan aku saja yang terserang kantuk, tak terkecuali Nenek!Kewaspadaannya mulai menurun, karena ketika kuamati, gerakan tangannya makin lama semakin lambat, bahkan sesekali, dengkurnya mulai terdengar, meski hanya seperti suara pipa tersapu angin, karena gigi nenek memang telah habis.

Untuk memastikan sejauh mana kepekaannya, aku, sedikit demi sedikit menggeser posisi tubuhku mendekati tubuhnya. Mula-mula, kakiku kugeser menindih betis nya. Tampaknya nenek belum sepenuhnnya lelap. Sebab, begitu terasa ada benda menyentuh kakinya, helaan nafasnya berubah, pertanda masih agak sadar. Tapi aku tak berusaha memindah posisiku, takut ia menjadi curiga.

Benar saja, kembali Nenek diam saja, dengan posisi tangan masih menempel di kemaluan, tetapi masih tertutup kain batiknya, sehingga aku tak mampu melihat bentuk dan sensasi berada dalam zona terlarangnya.

Di sini, kembali, kesabaran dan nyali ku pertaruhkan. Aku harus sabar menuggu kesempatan terbaikku, menggapai 'Trophy' kemaluan Nenek yang memang tidak semudah seperti saat aku meminta di belikan mainan atau uang jajan dari nya. Benar-benar sebuah perjuangan yang layak di kenang!

Perlahan namun pasti, sang waktu pun berpihak kepadaku. Nenek benar-benar terlelap. Ini saatnya berpesta.... Meski sangat terbuka kesempatan itu, tapi aku tidak serta merta berani 'menguliti' Nenek. Pertama-tama, tentu saja, aku berusaha menyingkapkan kain yang menutupi separuh betisnya hingga ke perutnya. Aku sempat duduk, mengamati posisi tidur Nenek, dengan menetukan bagian mana dulu yang mesti kubuka. Dari situ, aku tahu, menyingkapkan kainnya dari bawah adalah posisi teraman, tentu saja posisi badanku harus sejajar dengannya, dengan pertimbangan, akan memudahkan aku mengembalikan lagi kainnya jika situasi menjadi sulit, dan yang terpenting, memompa fantasiku, ketika kulit kakiku beradu dengan kulit kakinya.

Sepertinya, tak ada halangan berarti, ketika kaki kananku yang ku tugasi menindih paha kiri Nenek, menjepit kain batik yang di kenakannya, dan menggesernya semakin ke atas mendekati pangkal pahanya. Sampai di sini, semua sensasi yang kurasa, sungguh lebih dahsyat dari yang pertama. Sengaja kombinasi semua rasa, dari rasa takut, geli, nikmat, bangga dan entah rasa apalagi aku tak mampu melukiskannya, berbaur membentuk halusinasi tak terkira, yang mungkin bakal aku kenang sampai aku binasa kelak.

Sengaja aku berlama-lama di situ, menghirup semua utopia yang tak pernah terlintas di benakku sebelumnya. Barangkali, kalau aku jabarkan, seperti ketika kebelet pipis saat mengemudi atau berada di kendaraan umum, sementara toilet yang kita tuju, masih belum nampak atau kita masih perlu menunggu giliran, begitulah kira-kira sensasi saat saya berusaha menggapai impian menyingkap tabir rahasia itu. Lega tak terperi yang aku rasakan, sesaat setelah buang hajat kecil, begitulah perasaan yang ada padaku, ketika mampu menelanjangi Nenek, orang yang jikalau dalam posisi sadar amat kusegani dan kuhormati.

Saat aura kegalauan telah kutuntaskan, aku beranjak ke langkah selanjutnya, yang justru menjadi taget utama misiku malam itu, yaitu melihat bagaimana dan apa yang telah di lakukan nenek di area tempat biasanya dia kencing! Aku tercekat, begitu menyadari dan tahu benda yang terpampang di hadapanku. Bentuknya menurutku mirip dengan milik kambing betina yang biasa kulihat di padang gembala bersama kakak sepupuku yang lain. Tak ada yang istimewa, seperti bayanganku semula, di mana kupikir, pasti agak aneh dan... Entah, tak mampu aku imajinasikan.

Tapi aku masih penasaran, kenapa begitu melihat bentuk yang menempel di pangkal paha Nenekku, ereksi di penisku semakin menjadi? Kenapa saat di padang rumput, saat menyaksikan kambing kang wawan yang sedang merumput, dan nampak kemaluannya, yang jika melihat bentuknya mirip punya nenekku, aku sama sekali tak bereaksi?

Ahh... kenapa mesti bertanya-tanya, kenapa tidak sekalian saja aku rasakan sensasinya saat memegang dan berada di dalamnya? Tapi, ini bukanlah hal mudah. Di atas gundukan itu, tangan nenek masih bercokol, menutupi sebagian ujungnya. Aku tak lagi perduli, apapun yang terjadi, malam ini aku harus tahu.

Saat tangan nenek yang ku coba ku geser ke arah lain yang lebih memudahkanku mengamati kemaluannya, tanganku gemetar takut kalau-kalau Nenek terbangun. Tapi meski dengan susah payah, misiku berhasil. Belahan di pangkal pahanya terlihat jelas. Hanya saja yang mengundang decak kagumku adalah, di sini kutemui bulu-bulu seperti rambut yang sebagian besar berwarna putih seperti uban, tetapi cuma satu sisi yang tersisa. Maksudku, sebagian besar nampaknya telah sengaja di buang oleh nenek dengan cara di cabut. Jadi, rupanya, selama ini, Nenek melakukan ritual 'cabut jembut', hal yang tentu saja memberiku andil yang cukup besar kelak di kemudian hari, hingga menjadikanku bereputasi sebagai balita tercabul di kota kami.

Akupun, dengan iseng mencoba mengelus-elus bulu-bulu kemaluan Nenek, yang menurutku tak seberapa banyak di banding luasnya'lahan', sehingga lebih tepat bila ku analogikan seperti bukit tandus yang di tumbuhi beberapa batang ilalang. Dan telapak tanganku makin tak sabar mencoba mengetahui isi di dalamnya. Saat belahan itu ku buka, aku mencium seperti bau bawang merah yang di iris. Di tengah belahan itu ada segumpal daging kecil keriput, yang tampak di kelilingi oleh daging seperti kerang yang di kupas.

Saat itu aku tak tahu apa namanya, tapi yang pasti, daging kecil ini sempat kutarik-tarik dan kupelintir kekanan dan kekiri. Di bawahnya, ada lobang yang aku sendiri tak tahu seberapa dalam, karena aku tak berani memasukkan jariku ke dalamnya. Yang jelas, di dalam kemaluan Nenek terasa hangat tapi lembab. Aku suka berlama-lama di situ bermain-main dengan menarik-narik daging kecil yang tadi sempat kupelintir.

Aku tak tahu berapa lama aku bermain-main dengan kelentit nenek, tetapi satu hardikan yang cukup keras, di sertai rasa panas di telinga, akibat di jewernya telingaku oleh nenek, menyadarkanku.

"Grathil!," begitu bentaknya sambil menghalau tanganku. Akupun makin gelagapan saat menyadari keadaan tubuhku yang telanjang bulat, karena sarung yang kupakai ternyata telah melorot entah di mana.

Rupanya suara ayam berkokok yang begitu keras telah membangunkan nenek yang tengah terlelap. Dan begitu menyadari situasinya seperti yang kupaparkan, serta merta kemarahannya meledak. Bagaimana tidak, sorang anak bau kencur, yang notabene cucunya sendiri telah berani menelanjangi dirinya dan berani memainkan kelentitnya, di daerah 'kekuasaannya'.

Ini benar-benar gawat dan bencana bagiku. Aku tak lagi punya nyali menatap Nenek yang kemudian beranjak ke dapur, sebagai kebiasaannya bertahun-tahun, yaitu minum air putih. Esok paginya, peristiwa semalam dengan kakak sepupuku dan nenek, menjadi tonggak bersejarah, yang mendasari kegemaran dan kecenderunganku bermain cinta dengan wanita lebih tua.

*****

Kisah selanjutnya akan aku paparkan di lain kesempatan, tentunya dengan gaya bertutur dan muatan kisah asli pengalaman seks ku yang pernah kulakukan, lebih baik lagi. Sebagai pendatang baru di situs 17Tahun.com, aku inginkan kritik dan tanggapan dari pembaca sekalian, alamatkan ke Emailku.

Tak lupa aku sampaikan bagi para penggemar situs ini, terutama wanita, yang berdomisili di Surabaya dan sekitarnya, bila ingin menjalin hubungan dan merasakan sensasi bercinta denganku, silakan kirim email ke alamatku. Aku berwajah lumayan cakep, sawo matang, tinggi 187 cm dan berat badan 87 kg dan berdomisili di Surabaya.

E N D

Oleh: djagalabilowo@yahoo.com


Lengah dan Terbuai


Aku seorang wanita walau belum pernah menikah tapi sempat berhubungan intim dengan seorang pria kekasihku beberapa tahun yang lalu. Hubungan kami terpaksa berhenti setahun yang lalu ketika orang tuanya yang kaya raya tidak menyetujui hubungan kami tersebut. Terakhir ku dengan mantan kekasihku itu telah menikah dan pindah kekota lain yang tidak ingin kuketahui persisnya dimana.

Saat ini umurku 28 tahun dan bekerja sebagai salah satu karyawan di perusahaan swasta asing sebagai salah satu staf public relation. Gaji yang kuterima cukup lumayan untuk tamatan sarjana publikasi, kemampuanku untuk berkomunikasi dengan baik dan ramah terhadap siapa saja membuat aku dipercaya untuk menghadapi persoalan- persoalan pelik, dan menerima tamu-tamu penting.

Suatu hari aku dipanggil oleh big bossku, dia mengeluh karena ada inspektor dari kantor pusat di Australia yang datang dan nampaknya boss kewalahan menghadapi pertanyaan-pertanyaannya. Aku ditugasi untuk menemani tamu tersebut selama di Jakarta.

Terus terang hatiku agak bergetar ketika pertama kali bertemu dengan Steve. Dia mempunyai sex appeal yang luar biasa, matanya tajam, mukanya bersih dan bicaranya jernih ditambah pakaiannya yang selalu rapih dan bermerk, termasuk wewangian yang digunakan. Mula-mula aku nervous juga di buatnya, tetapi setelah lama-lama hubungan kami makin relaks. Aku berusaha untuk menyembunyikan ketertarikanku padanya, tetapi dia nampak malah sengaja menggodaku.

Mula-mula dia ajak aku makan beberpa kali sampai aku rileks. Terus satu hari dia ajakain aku ke cafe, nemenin dia minum, aku habis dua gelas wine kali padahal aku nggak pernah minum. Aku rasanya nggak mabuk tapi badan aku rada hangat dan rileks. Terus dia ngajakin nonton, aku mau aja karena nggak terlalu malam. Karena yang nonton sepi, dia bebas rangkul-rangkul aku. Anehnya aku diem aja, rasanya nyaman dipelukin dia. Ngeliat aku diem aja dia makin berani, mukanya mulai di deketin ke aku tapi aku nolak kalau dia mau cium bibir aku. Tapi tambah parah karena yang dia cium kuping dan leher aku lama-lama lagi. Padahal itu termasuk daerah sensitif.

Kelihatannya dia tahu aku mulai ser... ser an... Tangannya mulai turun ke dada aku dari bahu. Tangannya lihai banget meskipun dari luar putaran-putaran jarinya mampu membuat aku sesak karena buah dadaku mengeras. Tangannya terus aku pegang, tapi yang satu ketahan yang lain aktif, dia berhasil buka kancing-kancing bajuku bagian atas, tangannya muter-muter diatas BHku yang tipis, malu juga rasanya kalau dia tahu pentilku keras banget. Bibirnya yang bermain dileherku, mulai turun ke bahu, dan... Wah gawat ternyata dia sudah menurunkan tali beha dan bajuku sampai ke pinggang, bibirnya bermain dia atas behaku, dan sekali rengut buah dada kiriku terekspos pada bibirnya...

Begitu buah dada aku terekspos dia nggak langsung caplok tapi pentil aku yang keras disengol-sengol dulu sama hidungnya. Napasnya yang hangat aja sudah berhasil membuat putingku makin keras. Terus dia ciumin pelan pelan buah dadaku yang 34C itu mula-mula bagian bawah terus melingkar sehingga hampir semua bagian buah dadaku dicium lembut olehnya. Belum puas menggoda aku lidahnya kemudian mulai menari-nari di atas buah dadaku. Aku tak tertahan mulai mendesah. Akhirnya apa yang aku khawatirkan terjadi lidahnya mulai menyapu sekitar puting dan akhirnya...

Akh... Putingku tersapu lidahnya... Perlahan mula mula, makin lama makin sering dan akhirnya putingku dikulumnya. Ketika akau merasa nikmat dia melepaskannya... Dan kemudian mulai mengecup dari bagian tepi lagi... Perlahan mendaki ke atas dan kembali ditangkapnya putingku. Kali ini putingku digigit perlahan sementara lidahnya berputar putar menyapu puting itu. Sensasi yang ditimbulkan luar biasa, semua keinginanku yang kupendam selama ini serasa terpancing keluar dan berontak untuk segera dipuasi.

Melihat aku mendesah di tambah berani. Selain menggigit-gigit kecil putingku sembari lidahnya menyapu-nyapu, tangannya mulai bermain di lututku. Terus terang aja selama menjanda aku belum pernah ML lagi. Perasaan yang kupendam selama ini kelihatannya mulai bergolak. Itu membuatku membiarkan tangannya menggerayangi lutut dan pahaku. Dia tahu tubuhku merinding menahan nikmat, karena kulitku mulai seperti strawbery titik-titik. Dengan lihai tangannya mulai mendaki dan kini berada diselangkanganku.

Dengan lembut dia mengusap-usap pangkal pahaku dipinggiran CDku. Hal ini menimbulkan sensasi dan nikmat yang luar biasa. Aku tak dapat duduk tenang lagi, sebentar bentar menggelinjang. Aku sudah tak dapat lagi menyembunyikan kenikmatan yang kualami. Hal ini dia ketahui dengan lembabnya CDku. Jarinya yang besar itu akhirnya tak mampu kutahan ketika dia memaksa menyelinap dibalik CDku dan langsung menemukan clitku. Dengan gemulai di amemainkan jarinya sehingga aku terpaksa menutup bibirku agar lenguhan yang keluar tak terdengar oleh penonton lain. Jarinya lembut menyentuh clitku dan gerakannya memutar membuat tubuhkupun serasa berputar-putar.

Akhirnya pertahananku jebol, cairan kental mulai mengalir keluar di vaginaku. Dan dia tahu persis sehingga dia mengintensifkan serangannya. Akhirnya puncak itu datang, kepeluk kepalanya dengan erat dan kuhujamkan bibirku ke bibirnya dan tubuhku bergetar. Dia dengan sabar tetap mengelus clitku membuatku bergetar-getar seolah tak berhenti. Lubang vaginaku yang basah dimanfaatkan denga baik olehnya. Sementara jari jempolnya tetap memainkan clitku, jari tengahnya mengorek-ngorek lubangku mensimulasi apa yang dapat dilakukan laki- laki terhadap wanita. Aku menggap-menggap dibuatnya. Entah berapa lama dia membuatku seperti itu dan sudah beberapa kali aku mengalami orgasme, tapi tidak ada tanda-tanda bagaimana dia akan mengakhiri permainan ini.

Akhirnya aku yang memulai... Gila... Entah apa yang mendorongku, tanganku tahu tahu meraba-raba selangkangannya... Disana jemariku menemukan gundukan yang mulai mengeras. Begitu tersapu oleh belaianku, gundukan itu berubah menjadi batang hangat yang mengeras. Entah mengapa aku jadi senang menggodanya, jariku terus membelai turun naik sepanjang batang tersebut yang menurutku agar luar biasa ukurannya. Secara perlahan batang tersebut bertambah panjang dan besar menimbulkan getaran-getaran yang membuatku kembali mencapai orgasme. Ketika orgasme tanganku secara tak sengaja meremas-remas bola-bolanya sehingga dia pun terangsang.

Sambil mengecup daun telingaku Steve berbisik... Shall we... Go... Aku tak tahu harus bagaimana... Dan menurutinya saja ketika dia menarik tanganku bangkit dari tempat duduk dan berjalan mengikutinya... Keluar bioskop... Melewati mall dan akirnya sampai di lobi sebuah hotel yang menyatu dengan bioskop dan mall tersebut. Langkahku agak tersendat ketika melewati lobi... tetapi jari tanganku tergengam erat padanya dan dia dengan sangat pasti menggiringku kerah lift yang mengantarkan kami ke kamar yang ternyata telah dipersiapkan sebelumnya olehnya. Di dalam lift Steve sempat mencium bibirku dengan lembut... Seperti mencium kekasihnya... Ini membuat tubuhku bertambah lunglai.

Aku tertegun berdiri di depan kamar yang telah dibuka pintunya oleh Steve, dan dia dengan sopan mempersilahkan aku masuk. Beberapa saat aku berdiam di depan pintu bimbang. Melihat kebimbanganku Steve tidak memberi kesempatan dianggkatnya tubuhku dengan kedua tangannya yang kekar dan dibopongnya kau masuk. Dengan cekatan dia menutup dan mengunci pintu. Aku sempat berontak tetapi kembali bibirnya melumat bibirku cukup lama dan dalam sehingga kenikmatan tak tuntas di bioskop tadi kembali muncul. Sambil membopong aku Steve terus melumat bibirku dan perlahan namun pasti dia berjalan ke rah tempat tidur ukuran king size yang ada dalam ruang suite tersebut. Aku agak gelisah melihat situasi ini.

Steve menyadari hal itu dan tanpa melepaskan ciumannya dia menurunkan tubuhku dengan perlahan tepat dipinggir ranjang. Kami berhadapan berpandangan sejenak, dia tersenyum dan kembali bibirnya mengecup ngecup bibir bawah dan atasku bergantian dan berusaha membangkitkan gairahku kembali. Aku berdesah kecil ketika tangannya memeluk pinggangku dan menarik tubuhku merapat ketubuhnya. Bibirnya perlahan mengecup bibirku, lidahnya merambat diantara dua bibirku yang tanpa sadar merekah menyambutnya. Lidah itu begitu lihai bermain diantara kedua bibirku mengorek-ngorek lidahku untuk keluar. Sapuan lidahnya menimbulkan sensasi-sensasi nikmat yang belum pernah kurasakan, sehingga perlahan lidahku dengan malu-malu mengikuti gerakan lidahnya mencari dan mengikuti kemana lidahnya pergi. Dan ketika lidahku menjulur memasuki mulutnya dengan sigap dia mengulumnya dengan lembut, dan menjepit lidahku diantara lidah dan langit-langit. Tubuhku menggeliat menahan nikmat yang timbul. Aku merasa melayang tak berpijak, pengaruh minuman juga menambah aku kehilangan kontrol.

Pada saat itulah aku merasa Steve membuka kancing-kancing gaun malamku yang terletak dipunggung. Tubuhku sedikit menggigil ketika, angin dingin dari mesin AC menerpa tubuhku yang perlahan-lahan terbuka ketika Steve berhasil melorotkan gaun malamku kelantai. Aku membuka mataku perlahan-lahan dan kulihat Steve sedang menatap tubuhku dengan tajam. Dia nampak tertegun melihat tubuh mulusku yang hanya terbungkus pakaian dalam yang ketat. Sorotoan matanya yang tajam menyapu bagian-bagian tubuhku secara perlahan. Pandangannya agak lama berhenti pada bagian dadaku yang membusung. BH ku yang berukuran 34C memang hampir tak sanggup menampung bongkahan dadaku, sehingga menampilkan pemandangan yang mengundang syahwat lelaki.

Tatapan matanya cukup membuat tubuhku hangat, dan dalam hati kecilku ada perasaan senang dan bangga dipandangi lelaki dengan tatapan penuh kekaguman. Aku terseret maju ketika lengan Steve kembali merangkul pinggangku yang ramping dan menariknya merapat ketubuhnya. Tanganku terkulai lemas ketika sambil memelukku Steve mengecup bagian- bagian leherku sambil tak henti-hentinya membisikan pujian-pujian akan kecantikan bagian- bagian tubuhku. Akhirnya kecupannya sampai di daerah telingaku dan lidahnya secara lembut menyapu bagian belakang telingaku.

Aku menggelinjang, tubuhku bergetar sedikit dan rintihan kecil lepas dari kedua bibirku. Steve telah menyerang salah satu daerah sensitifku, dan dia tahu itu sehingga hal itu dilakukannya berkali-kali. Dengan sangat mempesona Steve berbisik bahwa dia ingin menghabiskan malam ini dengan bercinta denganku, dan dia memohon agar aku tak menolaknya, kemudia bibirnya kembali menyapu bagian belakang telingaku hingga pangkal leherku. Aku tak sanggup menjawab, tubuhku terasa ringan, tanpa sadar tanganku kulingkarkan di lehernya. Rupanya bahasa tubuhku telah cukup dimengerti oleh Steve sehingga dia menjadi lebih berani. Tangannya kini telah membuka kaitan BHku, dan dalam sekejap BH itu sudah tergeletak di lantai.

Tubuhku terasa melayang, ternyata Steve telah mengangkat tubuhku, dibopongnya ke tempat tidur dan dibaringkan secara perlahan. Kemudian Steve menjauhi ku dan dengan perlahan mulai melepaskan pakaiannya secara perlahan. Anehnya aku menikmati pemandangan buka pakaian ini. Tubuh Steve yang kekar dan sedikit berotot tanpa lemak ini menimbulkan gairah tersendiri. Dengan hanya mengenakan celana dalam kemudian Steve duduk di ujung ranjang. Aku berusaha menduga-duga apa yang akan dilakukannya. Kemudian dia membungkuk dan mulai menciumi ujung-ujung jari kakiku. Aku menjerit kegelian dan berusaha mencegah, namun Steve memohon agar dia dapat melakukannya dengan bebas. Karena penasaran dengan sensasi yang ditimbulkan. Akhirnya aku biarkan dia menciumi, menjilat dan mengulum jari-jari kakiku.

Aku merasa, geli, tersanjung dan sekaligus terpancing untuk terus melanjutkan kenikmatan ini. Bibirnya kini tengah sibuk di betisku yang menurutnya sangat indah itu. Mataku terbelalak ketika kurasakan perlahan tapi pasti bibirnya makin bergerak ke atas menyusuri paha bagian dalamku. Rasa geli dan nikmat yang ditimbulkan membuat aku lupa diri dan tanpa sadar secara perlahan pahaku terbuka. Steve dengan mudah memposisikan tubuhnya diantara kedua pahaku. Pertahananku benar-benar runtuh ketika Steve menyapu-nyapukan lidahnya dipangkal-pangkal pahaku. Aku berteriak tertahan ketika Steve mendaratkan bibirnya diatas gundukan vaginaku yang masih terbungkus celana dalam. Tanpa memperdulikan adanya celana dalam Steve terus melumat gundukan tersebut dengan bibirnya seperti dia sedang menciumku.

Aku berkali-kali menjerit nikmat, dan persaan yang telah lama hilang kini muncul kembali getaran-getaran orgasme mulai bergulung-gulung, tanganku meremas-remas apa saja yang ditemuinya, sprei, bantal dan bahkan rambut Steve, tubuhku tak bisa diam bergetar, menggeliat, dan gelisah, mulutku mendesis tak sengaja, pinggulku meliuk-liuk erotis secara reflek dan beberapa kali terangkat mengikuti gerakan kepala Steve. Untuk kesekian kalinya pinggulku terangkat cukup tinggi dan pada saat itu Steve tidak menyianyiakan kesempatan untuk menarik celana dalamku lepas. Aku agak tersentak, tetapi puncak orgasme yang semakin dekat membuat aku tak sempat berpikir atau bertindak apapun. Bukit vaginaku yang sudah lama tak tersentuh lelaki terpampang di depan mata Steve.

Dengan perlahan lidah Steve menyentuh belahannya, aku menjerit tak tertahan dan ketika lidah itu bergerak turun naik di belahan vaginaku, puncak orgasme tak tertahankan. Tanganku memegang dan meremas ramput Steve, tubuhku bergerta-getar dan melonjak-lonjak. Steve tetap bertahan pada posisinya, sehingga lidahnya tetap bisa menggelitik klitorisku, ketika puncak itu datang. Aku merasa-dinding-dinding vaginaku mulai lembab, dan kontraksi- kontraksi khas pada lorong mulai terasa. Itulah salah satu kelebihanku lorong vaginaku secara refleks akan membuat gerakan-gerakan kontraksi, yang bisa membuat lelaki tak bisa bertahan lama.

Steve nampaknya dapat melihat kontraksi-kontraksi itu, sehingga membuat bertambah nafsu. Kini lidah nya semakin ganas dan liar menyapu habis daerah selangkanganku, bibirnya ikut mengecup dan bahkan bagian cairanku yang mulai mengalir disedot habis olehnya. Nafasnya mulai memburu. Aku tak lagi bisa menghitung berapa kali aku mencapai puncak orgasme. Steve kemudian bangkit, dengan posisi setengah duduk dia melepaskan celana dalamnya, beberapa saat kemudian aku merasa batang hangat yang sangat besar mulai menyentuh, nyentuh selangkanganku yang basah.

Steve membuka kakiku lebih lebar, dan mengarahkan kepala kemaluannya ke bibir vaginaku. Meskipun tidak terlihat olehku, aku bisa merasakan betapa keras dan besarnya milik Steve itu. Dia mempermainkan kepala penisnya di bibir kemaluanku di gerakan ke atas ke bawah dengan lembut, untuk membasahinya. Tubuhku seperti tak sabar menanti tindakan yang selanjutnya. Kemudian gerakan itu berhenti. Dan akau merasa sesuatu yang hangat mulai mencoba menerobos lubang kemaluanku yang sempit. Tetapi karena liang itu sudah cukup basah, kepala penis itu perlahan tapi pasti terbenam, makin lama-makin dalam.

Aku merintih panjang ketika Steve membenamkan seluruh batang kemaluannya. Aku merasa sesak, tetapi sekaligus nikmat luar biasa, seakan seluruh daerah sensistif dalam liang itu tersentuh. Batang kemaluan yang keras dan padat itu disambut oleh kehangatan dinding vaginaku yang telah lama tidak tersentuh. Cairan-cairan pelumas mengalir dari dinding- dindingnya dan gerakan kontraksi mulai berdenyut, membuat Steve membiarkan kemaluannya terbenam agak lama merasakan kenikmatan denyutan vaginaku. Kemudian Steve mulai menariknya keluar perlahan-lahan dan mendorongnya lagi, makin lama makin cepat.

Sodokan-sodokan yang demikian kuat dan buas membuat gelombang orgasme kembali membumbung, dinding vaginaku kembali berdenyut, kombinasi gerakan ini dengan gerakan maju mundur membuat batang kemaluan Steve seolah-olah diurut, kenikmatan tak bisa disembunyikan oleh Steve, gerakannya semakin liar, mukanya menegang, dan keringat menetes dari dahinya. Melihat hal ini, timbul keinginanku untuk membuatnya mencapai nikmat.

Pinggulku kuangkat sedikit dan kemudian membuat gerakan memutar manakala Steve melakukan gerak menusuk. Steve nampaknya belum terbiasa dengan gerakan dangdut ini, mimik mukanya bertambah lucu menahan nikmat, batang kemaluannya bertambah besar dan keras, ayunan pinggulnya bertambah cepat tetapi tetap lembut. Akhirnya pertahanannya bobol, kemaluannya menghujam keras dalam vaginaku, tubuhnya ambruk menindihku, tubuhnya bergetar dan mengejang ketika spermanya mencemprot keluar dalam vaginaku berkali-kali. Akupun melenguh panjang ketika untuk kesekian kalinya puncak orgasmeku tercapai.

Sesaat dia membiarkan batangnya di dalamku hingga nafasnya kembali teratur. Tubuhku sendiri lemas luar biasa, namun harus kuakui kenikmatan yang kuperoleh sangat luar biasa dan belum pernah kurasakan sebelumnya. Kami kemudian terlelap kecapean setelah mereguk nikmat.

E N D

Oleh: dragoutdragon@yahoo.com


Aku Malu Kalau Dibegitukan


Semua tokoh dari kisah ini adalah nama fiksi belaka, semua tempat kejadian dan tokoh cerita adalah fiksi dan saya meminta maaf yang sebesar-besarnya jika ada kesamaan nama atau tempat peristiwa.

*****

Chapter 1. Semua Itu Bohong.

SubChapter 1a. Prolog

Hari ini hari minggu, di siang hari yang pana di sudut kota Surabaya, aku sedang berkejaran dengan waktu dan bus kota. Peluh mengalir membasahi wajah dan baju, dalam hatiku aku bertekad untuk tidak datang terlambat hari ini. Penting bagiku untuk dating tepat waktu hari ini, sebab aku tidak ingin mengecewakan dosen yang sudah berulang kali memarahiku. Entah kenapa hari ini semuanya tampak tidak bersahabat denganku. Terminal bus yang terlalu ramai dengan orang-orang seolah- olah mengatakan bahwa aku harus datang lebih awal lagi jika tidak ingin terlambat.

"Aku akan datang tepat waktu hari ini atau tamatlah sudah semua persiapan pada hari ini," selorohku dalam hati.

Bus yang kutunggu akhirnya dating juga, namun kayaknya hari ini lebih penuh dari biasanya, aku bergegas berdesakan dan masuk ke dalam bis tanpa ac yang baunya bercampur-campur antara bau keringat yang tengik dan bau penumpang yang tidak mandi hari ini kurasa. Tapi dengan membulatkan tekad akhirnya aku berhasil naik dan seperti sudah di duga aku tidak mendapatkan tempat duduk hari ini.

"Hmm, pasti ada pria tampan yang mau memberikan tempat duduk kepada gadis manis hari ini," pikirku samil menoleh kiri dan kanan mencari pria yang dimaksud.

Namun akhirnya aku harus berdiri sampai bus berhenti di depan falkutasku. Oh My God! Aku terlambat lagi hari ini. Kali ini keterlaluan sekali terlambat sampai 30 menit, mana hari ini ada tes kecil lagi. Aku langsung berlari kencang setelah membayar ongkos bus ke pak kondektur. Rok lipit-lipit warna senada yang kupakai berkibar-kibar seolah ingin protes dengan kecepatan lariku. Ada seorang mahasiswa yang hampir kutabrak langsung berteriak "Sinting!!" tapi aku tak pedulu dan terus berlari. Payudara ku yang berukuran 36 B, dibungkus dengan BH merah merek Pierre Cardin tampang terguncang-guncang naik turun dengan semangatnya, ya memang potongan BH sedikit rendah dan kemeja yang kupakai agak longgar sehingga aku merasa seperti BH nya mau melorot kebawah.

Aku terus berlari dan menaiki anak tangga ke ruang kuliahku yang di lantai 4. Aku berkuliah di sebuah universitas swasta yang cukup punya nama di Surabaya. Sambil terus berlari aku kembali berpapasan dengan beberapa cowok yang sedang duduk-duduk di tangga sambil bercakap-cakap. Mereka bersuit-suit melihat aku berlari, bagiku itu justru menambah semangatku. Dengan Sepatu hak tinggi berwarna hitam menyala setinggi 6 cm tidak mengurangi kegesitan ku. Aku sudah berada di ujung tangga ketika kusadari para cowok kurang ajar itu mungkin mengintip dari bawah tangga.

"Sialan!!" umpatku dalam hati, mereka pasti tahu aku mengenakan celana dalam merah hari ini.

Akhirnya dengan segala perjuangan aku akhir sampai ke depan ruangan kelas, aku kemudian mengetok pintu, masuk dan langsung ke bangku yang masih kosong di belakang.

Aku masih terengah-engah ketika Pak Eko, demikian nama dosenku, meneriaki namaku dengan keras.

"YESSY!!, KAMU TAHU INI SUDAH JAM BERAPA???," aku sampai meloncat kaget mendengar teriakan itu.
"AYO KAMU KEDEPAN DULU SINI," aku mengumpat dalam hati kemudian dengan berat langkah menuju ke depan kelas.

Aku berdiri di depan kelas menghadap anak-anak yang tiba-tiba menjadi ramai seolah di depan kelas ada sesuatu yang aneh. Pak Eko menatapku dengan dingin, matanya seolah ingin menjelajahi tubuhku, napasku masih sangat terengah-engah dan akibatnya payudaraku bergerak naik turun seiring dengan napas ku. Kemeja putih yang aku pakai memang agak longgar tapi terbuat dari kain yang cukup tipis, sehingga samar-samar pasti terlihat warna BH ku yang menyolok, ah tapi cuek sajalah. Aku langsung mengecek ke bawah untuk melihat apakah pakaian yang aku pakai harus ditata jika tidak semestinya,

"Semuanya tampak rapi," pikirku cepat.
"Haah, ternyata ada noda keringat basah yang tampak seperti bunga di kedua sisi ketiakku. Shit!!" kataku dalam hati.
"Maaf Pak Eko hari ini saya terlambat karena bus sangat lama datangnya," aku berkata cepat namun berusaha untuk tidak memicu kemarahannya.
"Ya, saya tahu tapi hari ini kita sedang tes, dan kamu tahu aturannya kan bahwa ikut tes ini merupakan kewajiban sebelum UAS atau kamu tidak akan lulus pelajaran saya jika tidak mengikuti tes ini," jelas Pak Eko tegas.
"Kamu setelah kuliah ini harap menemui saya di kantor, kamu harus ikut tes susulan atau kamu tidak akan pernah lulus," lanjutnya.
"Ya pak," jawabku cepat.

Mata kuliah Pak Eko merupakan suatu mata kuliah yang sangat penting untuk mengambil mata kuliah lain karena tercantum hampir dalam setiap prasyarat mata kuliah lain. Dengan tidak lulus mata kuliah ini kemungkinan semester depan aku hanya dapat mengambil 1 mata kuliah saja yang lain semua terkena prasyarat.

"Aku anak yang bertekad baja, aku harus lulus mata kuliah ini!!," tekadku dalam hati.

Pak Eko, umur 32 tahun, perawakan besar tinggi dan berkumis, kulitnya agak sawo matang tapi cukup putih untuk ukuran lelaki. Statusnya sudah cerai dengan istrinya dan sekarang hanya tinggal sendirian di salah satu kawasan elit di Surabaya, sebenarnya Pak Eko orang kaya dia punya usaha sampingan Rumah Walet di beberapa tempat. Tidak jelas mengapa ia mau menjadi dosen yang bayarannya hanya beberapa juta sebulan. Yang jelas orangnya ramah dan punya banyak teman. Teman saya pernah memergoki pak Eko di salah satu pub elit bersama temannya setelah di tanyai katanya urusan bisnis.

Oh ya, namaku Yessy, aku cewek berusia 20 tahun. Sekarang kuliah semester 3 jurusan ekonomi, tubuhku langsing tapi berisi. Rambutku sebahu dan lurus seperti iklan yang di re- bonding itu lho. Banyak orang bilang aku cantik dan bukan saja orang hanya bilang, tapi aku sendiri bekerja paruh waktu sebagai SPG di berbagai tempat dan juga sebagai pagar ayu. Pokoknya untuk urusan pamer wajah dan badan aku pasti di ajak. Bukan apa apa sebenarnya, tetapi memang itulah kelebihanku. Aku punya banyak teman cowok maupun cewek aku orang yang pintar bergaul atau memang aku cantik sehingga banyak di kerubungi cowok yang sekedar senang atau memang menginginkan sesuatu, bukan hanya cantik lho, tapi juga seksi.

Dadaku cukup padat berisi dan sesuai dengan postur tubuhku yang tinggi 162 cm dan berat 50 Kg, Kukira itu ukuran ideal yang di inginkan setiap wanita. Walaupun aku orang nya sering berada dimuka umum tapi aku sebenarnya agak pemalu, aku tidak berani berbicara sambil menatap mata orang, hanya kadang-kadang aku harus PeDe karena di bayar untuk itu. Tentu bukan hanya payudara ku saja yang indah, kulitku juga putih dan betisku mulus menantang setiap mata yang mampu menjelajahinya. Aku rajin merawatkan tubuh di berbagai salon kecantikan karena menurut bosku supaya lebih bernilai jual, entah apa maksudnya. Mungkin supaya penjualan produknya semakin besar atau supaya sering dipakai jadi SPG.

"Yessy, hari ini bapak tidak sempat ke kantor lagi karena ada urusan penting yang tidak bisa di tunda. Kalau kamu betul pingin ikut tes ini, nanti hubungi bapak agak sore ya. Kalau lain kali bapak sudah enggak bisa kasih tes lagi, atau kamu mengulang aja tahun depan ya?" ucapan Pak Eko membuyarkan lamunan ku.

Ternyata di kelas tinggal aku sendirian. Entah sejak kapan bubar, kayaknya aku terlalu banyak melamun hari ini.

"Saya mau lulus semester ini pak, bagaimana kalau bapak tidak sempat nanti sore saja tes nya bahkan kalau di rumah bapak sekalipun saya bersedia yang penting bapak mau meluangkan waktu untuk saya" kataku gugup karena pikiranku baru terputus dan kacau.
"Kamu tahukan nomor HP bapak kan? Ya sudah nanti sore bapak tunggu ya," Lanjut pak Eko cepat langsung bergegas pergi.

SubChapter 1b. Ketika semuanya di awali dengan 'manis'

Sudah jam empat sore ketika rangkaian kuliah hari ini selesai, aku tidak sempat pulang lagi, sambil melirik jam guess di tangan kiriku, janjiku dengan Pak Eko adalah jam 4.15 aku harus bergegas sebelum terlambat lagi, tidak usah melapor ke rumah lagi tokh tidak ada orang di rumah ku. Aku tinggal sendiri karena aku sebenarnya bukan orang Surabaya, aku anak luar pulau, aku tinggal sendirian di rumah kontrakan kecil yang tetangganya pun aku tidak berapa kenal. Keberanianku tinggal sendirian semata karena tekadku kuliah di Surabaya. Ya aku memang cewek bertekad baja.

"Aku naik ojek sajalah ke rumah Pak Eko biar tidak terlambat" pikirku.

Benar juga tidak sampai 10 menit aku sudah berdiri di depan sebuah rumah mewah berlantai 2 Pak Eko juga kebetulan baru pulang sehingga kami sama-sama masuk ke rumah. Pak Eko kemudian meminta waktu untuk mandi sebentar dan mempersilakan saya duduk di sofa berbulu putih yang tampaknya mahal. Begitu pak Eko hilang dari pandangan mataku aku berdiri dan melihat-lihat sekelililing.

Aku terkagum-kagum melihat koleksi lukisan pak Eko yang indah-indah. Tiba-tiba ada geraman di belakangku, entah dari mana datangnya tapi dua ekor doberman besar sudah ada di belakangku dalam jarak kurang dari satu meter. Doberman-doberman tersebut cukup besar dan tinggi. Mereka mulai menggeram-geram dan maju perlahan. Aku takut sekali tapi aku tidak berani lari karena pasti di kejar dan bisa di gigit. Aku hanya maju ke dinding dan diam mungkin anjing itu akan menganggap aku bukan ancaman dan pergi. Aku merasa mereka makin mendekat mungkin hanya 1/4 meter lagi. Aku ingin berteriak tapi takut mereka jadi tambah galak lagipula pak Eko kemungkinan tidak mendengar dari kamar mandi. Aku cuma menutup mata dan berharap yang indah-indah.

Dalam kegelapan tiba-tiba semua hening, anjing-anjing itu pasti sudah pergi, aku mencoba membuka mata dan menoleh ketika tiba-tiba terasa napas hangat di... Astaga!! di bagian atas belakang lutut. Salah satu doberman itu sudah begitu dekatnya sehingga napasnya dapat di rasakan pada kulitku yang mulus itu. Ia mulai menjilat-jilat bagian belakang pahaku, semakin lama semakin ke atas. Aku mulai merasa geli tapi tidak berani bergerak sedikitpun, jilatan itu menjadi semakin liar seolah-olah pahaku ada rasanya, yah.. mungkin bau dari kemaluanku, dan keringat yang mengering. Aku pernah menonton TV yang mengatakan bahwa binatang suka tertarik dengan bau kelamin lawan jenisnya sebelum memulai hubungan seks. Jilatan itu semakin naik sampai ke sela-sela paha bagian belakang dan mulai mengenai celana dalamku.

"Ooohh, celana dalamku pasti basah nih" pikirku.

Ludahnya terasa sekali banyaknya dan hangat serta geli. Aku mulai merasa terangsang karena jilatan itu. Doberman tersebut semakin bersemangat. Kayaknya ia tertarik dengan celana dalam merahku karena ia sudah tidak menjilati paha lagi tapi sudah menjilat celana dalamku. Kurasakan kemaluanku basah karena cairan kemaluanku sendiri deras mengalir seiring dengan ekstasi kenikmatan yang aku rasakan.

Aku tiba-tiba terpikir bagaimana kalau celana dalamku di korbankan saja ke anjing itu, tapi bagaimana dengan anjing satunya yang menonton bagaimana kalau ia mau juga tapi kayaknya, oh syukur lah, hanya tinggal seekor saja. Aku memberanikan diri untuk mengangkat rok dan melucuti celana dalamku. Anjing itu menurut aja untuk menunggu seolah sudah tahu kalau celana dalam itu akan menjadi mainannya. Ia mundur dan membiarkan aku melucuti celana dalamku. Celana itu meluncur turun dengan cepat dan kulempar yang jauh. Tak disangka anjing itu langsung mengejar celana dalam itu dan memberi aku tempat kosong dan waktu untuk lari. Aku langsung lari dan mencari tempat yang aman.

"Harus tempat yang tidak dapat di jangkau anjing tersebut," Pikirku cepat. Kulihat di kebun belakang ada bangunan menyerupai air mancur dan letaknya cukup tinggi tapi harus dipanjat sedikit. Aku langsung lari kesana dan memanjat lalu berdiri diatasnya. Akhirnya aman juga, begitu pak Eko selesai mandi aku langsung berteriak minta tolong. Anjing itu juga tampaknya sibuk dengan celana dalamnya, sudah hampir di telan dan di gigit-gigit.

"Harganya Rp 200.000, mati aku, baru beli lagi," pikirku.

Tiba-tiba aku panik bagaimana menjelaskan semua ini ke pak Eko ya? Lagipula sekarang ia harus turun dibantu oleh pak Eko karena tidak mungkin dia meloncat ke bawah, Bagaimana kalau kelihatan dari bawah oleh pak Eko kalau aku tidak mengenakan celana dalam? Atau haruskan dia berterus terang saja tokh pak Eko juga akan tahu kalau aku tidak pakai celana dalam?

Tiba-tiba pak Eko muncul dari dalam rumah dan berkata "Lho Yessy, kamu kok di atas sana?"
"Menghindari anjing bapak" jawabku.
"Anjingnya sudah bapak usir keluar ayo bapak bantu turunin kamu" kata pak Eko sembari maju mendekati.
"Saya bisa sendiri kok saya lompat aja" jawabku lagi.

Aku ogah ketahuan kalau enggak pakai celana dalam. Pak Eko bersikeras mau membantu aku turun jadi dia pergi mengambilkan kursi untukku. Akhirnya sampai juga di bawah lagi sekarang tinggal mengambil celana dalam itu yang pasti sudah di tinggalkan anjingnya di lantai. Mataku langsung cepat menyapu lantai mencari benda itu sebelum terlihat pak Eko. Aku sedang sibuk memeriksa lantai ketika pak Eko datang lagi sambil berkata,

"Ini punyamu ya?" ditangannya terjulur sebuah celana dalam merah ku yang sudah basah kuyup dan penuh gigitan. Ini sangat memalukan masak celana dalam saya di pegang pak Eko terus basah lagi.
"Iya pak, semua itu gara-gara anjing bapak, terima kasih pak," jawabku gugup sambil menyambar benda itu dari tangan pak Eko.
"Nanti bapak ganti deh, maafkan anjing bapak" kata pak Eko sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Berdiri di depan pak Eko dengan rok sependek ini dengan kenyataan tidak mengenakan celana dalam membuatku terangsang lagi. Cairan kemaluanku pasti menetes ke lantai nih, "Oohhh aku sudah tidak tahan lagi" pikirku dalam hati.

Benar aja dugaanku tiba-tiba setitik cairan menetes kelantai di iringi tetes berikutnya. Hal ini terlihat jelas oleh pak Eko yang kebetulan sedang menunduk.

"Oh, kamu pingin pipis ya? Itu ada kamar mandi. Bapak tidak punya celana dalam wanita buat gantinya tapi kalau mau bapak ngajak kamu ke mal untuk beli gantinya sekarang," tawar pak Eko.

Saya tidak menjawab langsung aja ngeloyor ke kamar mandi. Pak Eko memandangku sampai aku masuk ke kamar mandi.

"Bapak-bapak boleh keluar sekarang" ucap pak Eko.

Tampak dari sebuah ruangan sebelah yang dibatasi kaca cermin 1 arah keluarlah beberapa orang laki-laki setengah baya. Salah satu dari mereka tampaknya kaya dan peranakan tionghoa. Kelihatannya Ia businessman yang sukses. Sedangkan yang lain kelihatan adalah kaki tangannya.

"Pak Bobi, bagaimana anjing saya pak? Anjing ini khusus di latih di Eropa untuk meniduri wanita yang ditemuinya sangat hebat dan ahli di bidangnya. Tawaran saya 750 juta masuk akal sekali kan pak?" jelas Pak Eko.
"Seperti yang telah bapak saksikan sendiri dia dari belakang cermin tadi, anjing-anjing tersebut mampu mendekati dan melakukan inisitiaf sendiri, mereka bisa mencium bau kemaluan wanita dari jarak berkilo-kilo jika bapak mau pun dia bisa berhubungan seks dengan wanita tanpa perlu di bimbing asal wanita tersebut tidak melawan dan telanjang," lanjut pak Eko jelas.

"Okelah kita deal aja yang penting kamu harus kasih saya 1 show sebagai complimentary dan sekaligus melihat kemampuannya," Pak Bobi berkata sambil menepuk pundak pak Eko, "Dan saya mau wanita tadi yang dipergunakan dalam show itu, dia tampak putih dan merangsang serta seksi saya suka dia," lanjut pak Bobi.

Pak Bobi langsung pamit dan keluar di depan sudah menunggu sebuah BMW seri 7 terbaru berwarna hitam gress dengan supir yang berpakaian putih-putih. BMW itu melaju cepat meninggalkan kediaman pak Eko.

Sementara itu Yessy sudah selesai mencuci dan mengelap kering kemaluannya yang basah akibat jilatan anjing tersebut. Celana dalam itu tidak jadi dipakai kembali karena jijik dengan ludah dan lendir dari anjing terebut, ia bahkan akan membuangnya jika sudah dapat yang baru. Tentu saja ia suka dengan ucapan pak Eko yang berjanji untuk menggantinya dengan yang baru. Ia keluar dengan rok tanpa celana dalam. Terasa dingin karena angin bertiup di bawah kemaluannya. Ide mengenai jalan-jalan di mal tanpa mengenakan celana dalam cukup memalukan rasanya apalagi lelaki yang menemaninya mengetahui hal itu. Tapi tidak ada pilihan lain demi tes yang harus di kerjakan hari ini. Demi kelulusan yang dia cita-citakan selama ini.

Pak Eko menghampiri dia sambil membawakan segelas besar juice leci yang tampaknya enak dan dingin.

"Sebagai rasa bersalah saya ini hidangan sekadarnya, maaf kalau tidak ada makanan, nanti keluar makan aja sekalian sekarang di minum dulu lalu saya tunggu di mobil" tukas pak Eko.

Aku minum dengan cepat sampai tumpah sedikit di kemejaku tepat di bagian payudara sebelah kiri rasa dingin langsung menyergap ke dalam. Aku tidak sempat ke kamar mandi lagi langsung kulap saja pakai tangan dan berlari ke mobil yang sudah menunggu di depan.


SubChapter 1c. Di mal, permainan di mulai.

"Kamu ulang aja tahun depan ya" ucapan pak Eko membuyarkan keheningan di mobil, "Maaf walau ada kejadian tadi tapi semuanya kan berawal dari keterlambatan kamu" lanjutnya.
"Saya harus lulus apapun caranya" pintaku. Apapun caranya.
"Kalau begitu nanti tesnya lisan aja di mal ok, kan kamu bilang apapun caranya" tawar pak Eko.
"Ok" kataku cepat seolah tidak ingin dia berubah pikiran.

Begitu turun dari parkir aku langsung berjalan menuju department store sementara pak Eko ikut di belakangku. Pak Eko mengisyaratkan agar Yessy mengikuti dia dan seolah sudah tahu jalan pak Eko langsung menuju ke tempat penjualan underwear di department store tersebut. Agak kagum namun di telan aja kekaguman itu, perhatian Yessy tertuju di setumpuk celana dalam yang bermerek sama dengan BH nya saat ini. Ia sudah menemukannya ketika seorang pelayan mengatakan bahwa celana dalam tersebut boleh di coba di kamar pas. Hal itu sedikit aneh bukan? Seharusnya celana dalam tidak boleh di coba? Ah tapi persetan dengan keanehan itu yang penting aku sekarang sudah kedinginan dan sudah mulai terangsang lagi.

Kamar pas itu pas di sudut dengan cermin di dua sisi. Agak sempit tapi cukup terang berlantai karpet. Ia mengunci pintu dengan baik dan mulai membuka roknya. Tampak kemaluannya menyembul sedikit berwarna kemerahan dan tampak basah mengkilap dibawah siraman lampu. Ia mengangkat sebuah kakinya ke atas sebuah dudukan yang ada di ruang ganti tersebut sambil memeriksa kemaluannya yang basah. Rambut kemaluannya nampak cukup lebat dan subur sekali. Kemaluannya memiliki bibir yang mungil yang mampu mengundang semua "kumbang" untuk berduyun-duyung mengerubunginya. Bukan hanya "kumbang" bahkan mungkin kumbang juga akan berduyun-duyun mengerubunginya, mungkin siapa tahu. Bau lendir dari kemaluan sangat khas sekali setiap cewek bisa mempunyai bau yang berbeda namun seorang yang ahli dapat tetap membedakan mana bau dari kemaluan mana bau dari ketiak.

Setelah di usap-usap sampai tampak kering barulah ia mengenakan celana dalam tersebut. Astaga celana dalam itu seksi sekali di pinggulnya, kenapa tidak terpikir dari dulu ya? Dia berputar-putar sejenak untuk memastikan semuanya benar dan melangkah keluar tanpa membukanya lagi. Sampai di depan tampak pak Eko lagi bercakap-cakap dengan sang pelayan tersebut. Pak Eko memberi kode apakah cocok dan ia mengiyakan, selanjutnya uang pun berpindah tangan ke laci kasir.

"Sekarang ayo kita makan sebelum tes di mulai" perintah pak Eko sambil menggandeng tanganku, reflek aku menarik tanganku tapi kembali di pegang pak Eko kali ini agak keras sehingga aku takut dan menurut aja tokh habis ini selesai sudah.

Kami makan di sebuah café yang memiliki kursi sofa berbentuk L dan tampak sangat private mungkin karena suasana café yang agak remang-remang dan orang yang tidak banyak mungkin hanya 3 meja yang ada penghuninya kebanyakan adalah pasangan muda. Kami memilih meja di sudut dan mulai memesan makanan. Pak Eko memesan steak ayam dengan segelas nescafe dan aku memesan salad semangka, nasi goreng special dan Lemon Tea. Aku betul-betul lapar sehingga begitu di tawari makanan ini aku mengangguk aja. Aku sedang menunggu pesanan ketika tiba-tiba aku merasa ada tangan di bawah rokku.

Tangan pak Eko yang kasar meraba pahaku yang mulus. Aku mau berteriak tapi tidak enak kalau Cuma pak Eko tidak sengaja benar kan. Aku memandang pak Eko ketika tiba-tiba pak Eko menciumku. Aku langsung kaget dan mundur sambil berkata

"Maaf, Bapak jangan begitu" tapi pak Eko membalas dengan mengatakan bahwa tes nya akan saya beri sekarang. Tiba-tiba terpikir bahwa bisa saja tes di ganti dengan pelukan dan kencan kilat seperti yang biasa di halalkan di kalangan dosen tertentu. Ah menurut sajalah. Tangan Pak Eko mulai merajalela dan semakin ke atas meraba daerah kemaluanku. Kontan aku basah lagi karena merasa nikmat dan geli, aku mulai menuruti permainan pak Eko ketika aku tersadar kami sedang ada di mal, didalam café dan sedang menanti makanan, dan mungkin saja ada orang yang melihat. Saya berusaha memberitahu dan melihat kalau-kalau ada yang melihat tapi sia- sia. Jari pak Eko sudah berada di dalam celana dalamku di gosok-gosokan ke kemaluanku yang basah. Rangsangan yang diberikan semakin hebat aku mulai tenggelam dan merintih nikmat.

Tiba-tiba Pelayan entah bagaimana sudah ada di dekat situ. Bagaimana kalau dia melihat kami berciuman? Ah itu sudah jelas dan mungkin lumrah. Tapi bagaimana kalau ia melihat tangan pak Eko berada di bawah rok ku? Tiba-tiba semua kembali biasa lagi pak Eko dan aku menerima makanan kami dan mengucapkan terima kasih. Pelayan itu meninggalkan kami sesaat kemudian. Pak Eko kemudian menunjukan jarinya yang basah oleh lendir kemaluanku. Basah sekali sampai aku kaget dan malu apa iya aku jadi sebasah itu. Lendir itu betul berbau khas ketika di dekatkan ke hidungku. Aku malu sekali belum pernah semalu ini di depan umum. Apalagi ketika pak Eko mencium bau lendir tersebut dekat hidungnya. Dunia rasanya mau runtuh aja. Tiba-tiba pak Eko tersenyum dan menatapku dan berkata kamu lulus tes nomor satu.

Tiba-tiba entah kenapa aku pingin pipis setelah selesai makan, mungkin karena cairan yang aku minum terlalu banyak sejak tadi. Aku mengatakan hal itu kepada pak Eko dan meminta izin kebelakang. Pak Eko mempersilakan aku langsung lari ke kamar mandi terdekat. Eh.. Ternyata sesampaiku disana kamar mandinya sedang out of order karena mungkin sedang di bersihkan, aku tidak menyerah dan naik ke lantai berikutnya yang ini juga out of order. Sementara otot lubang kencingku mulai berteriak-teriak seperti lagi kebakaran,

"Tolong kucurkanlah airnya, siram api itu" kalau andaikata otot tersebut bisa bicara.

Sepertinya kencingnya sudah diujung mau meluncur keluar ketika aku sedang menaiki eskalator ke lantai berikutnya, disini malah kamar mandinya tidak ada. Akhirnya dengan langkah gontai dan menahan pipis yang semakin mendesak aku kembali ke café dengan harapan pak Eko mengetahui letak toilet yang lain. Pak Eko masih minum kopi ketika aku sampai dan langsung duduk kembali.

"Semua toilet rusak pak" jawabku putus asa.
"Buka saja celana dalammu dan pipis disini" kata pak Eko ringan seolah-olah jawaban itu sangat bijaksana.

Wajahku memerah seketika mendengar jawaban itu, malu rasanya saking hebatnya sampai- sampai pipisku muncrat sedikit.

"Bagaimana mungkin pak" Jeritku pelan,
"Buka dulu celana dalam kamu dan taruh di atas meja" perintah pak Eko.

Hatiku langsung berdegup kencang dan wajahku menjadi semakin merah. Tapi aku takut dan mengikuti aja pak Eko. Aku mengangkat rokku sedikit dan melucuti celana dalam ku sambil duduk sambil berharap cemas tidak ada orang di café itu yang tahu. Celana dalam itu kuserahkan ke pak Eko yang kemudian di taruh di atas meja. Selanjutnya aku menunggu instruksi pak Eko. Pak Eko mengambil gelas kosong bekas lemon tea yang tadi kuminum dan menyodorkannya ke aku, sambil berkata,

"Kamu pipis aja ke gelas ini, tokh tidak ada yang tahu kalau itu lemon tea atau pipis kamu".

Hatiku langsung copot mendengar perintah itu. Tapi ya mungkin itu satu-satunya jalan. Meja tempat kami duduk bukan tipe tertutup cuma saja karena kursi sofa sehingga posisi meja menutupi ku sampai batas dada dan juga meka tersebut cukup lebar Ya cukup tertutup dan rendah sehingga orang tidak mudah melihat apa yang terjadi di bawah meja tapi kalau ada yang menjulurkan kepala di bawah meja pasti akan terlihat pemandagan indah.

Aku menerima gelas tersebut dengan tangan gemetar selanjutnya aku memposisikan duduk ku ke ujung kursi agar bisa meletakan gelas di bawah kemaluanku. Aku tidak berapa jelas dimana posisi gelas apakah sudah tepat atau belum yang pasti aku harus membuka paha agak lebar, tangan kanan ku memegang gelas dan tangan kiri ku membuka bibir kemaluanku lebar-lebar, gelas kuposisikan tepat di mulut bibir kemaluanku dan tiba-tiba pak Eko berkata,

"Jangan pipis dulu jaga aba-aba dari saya, dan jangan pipis terlalu kuat bunyinya itu lho bisa memancing perhatian orang,"

Saya kemudian memandang sekeliling tampak ada beberapa laki-laki yang duduk berhadapan tapi tidak memperhatikan kami. Andaikata mereka menundukan badan kebawah sudah pasti mereka melihat jarak meja kami Cuma 1,5 meter saja. Mereka tepat berhadapan dengan kami, tadinya mereka tidak ada entah kenapa bisa berada di situ.

"Oke Yessy, kalau sudah siap saya hitung sampai 3 dan kamu mulai pipis, 1.. 2.. 3" demikian aba-aba dari pak Eko.

Aku pipis dengan perlahan tapi stabil, muncratan pertama agak keluar dan membasahi jariku dan mungkin juga lantai, tapi begitu pipis keluar lancar sudah tidak tumpah lagi. Aku betul- betul sudah tidak tahan lagi terlambat semenit pasti aku sudah pipis di kursi sofa tersebut. Tiba-tiba pak Eko memanggil pelayan di meja sebelah, aku baru mengeluarkan 1/3 dari seluruh kencingku, ketika pelayan tersebut dengan sigap mendatangi mejaku.

Tiba-tiba aku sadar celana dalamku sudah tidak ada di atas meja. Celana dalam tersebut berada 1/2 meter di depan mejaku siapapun yang mengambilnya akan tahu aku sedang pipis ke dalam sebuah gelas, dan dia pasti akan mendapatkan pemandangan yang sangat indah. Bibir kemaluan yang terbuka, gelas yang berisi separuh cairan pipis kekuningan, dan lubang kemaluan yang memancarkan pipis kekuningan, pertunjukan yang cukup indah bukan hanya untuk kelas café,

"Tolong ambilkan celana nona ini jatuh di depan itu pak" pak Eko meminta tolong pelayan untuk mengambil celana dalam yang jatuh di depan meja kami.

Pelayan itu membungkuk dan mengambil celana dalam itu. Semua terjadi begitu cepat sampai aku tidak sempat menghentikan kegiatan ini. Dalam hati aku mau pingsan aja, pasti pelayan itu melihat aku pipis, oh tidak, pelayan itu kemudian berdiri dan sambil tersenyum sambil menyodorkan celana dalam itu ke saya, kedua tangan saya sedang sibuk di bawah ketika saya disodori celana dalam itu. Pelayan itu wajahnya merah karena malu dia kayaknya kaget sekali ketika tadi memungut celana itu.

"Taruh aja di meja itu, terima kasih pak" jawabku menahan malu dan mukaku merah.
"Kamu ini bagaimana sih Yes, masak orang sudah angkat barang kamu, kasih baik-baik masak kamu suruh taruh di meja itu kan celana dalam yang tidak sepatutnya berada di meja" sergap pak Eko, "Terima dengan kedua tangan kamu, berdiri dan membungkuk sendikit sambil mengucapkan terima kasih, ayo cepat!!" lanjut pak Eko setengah marah-marah.

"Tapi..," kencingku meluncur lebih deras dan tidak berdaya, tanganku tidak mungkin kuangkat, Aku sadar pak Eko sedang mempermalukan ku di depan pelayan ini.
"Tapi saya tidak bisa pak" pintaku memohon.
"Ya, sudah selesaikan dulu kerjamu baru terima celana itu dan lakukan seperti yang saya perintahkan" lanjut pak Eko penuh wibawa.

Rasanya seperti setahun ketika akhirnya aku selesai memuntahkan seluruh kencing ke dalam gelas, tepat segelas penuh. Aku jadi sadar gelas ini harus kuangkat ke atas meja supaya kedua tanganku kosong. Aku mengangkat gelas itu dengan gemetar kutaruh di atas meja dan kemudian aku berdiri dan menerima celana dalam itu dan mengangguk terima kasih.

Pelayan itu sepertinya melihat semua yang terjadi ketika dia tersenyum penuh arti kepadaku sambil menyodorkan celana dalam tersebut.

"Minumannya sudah tidak diminum lagi non, biar saya angkat" pelayan itu berkata penuh arti seolah-olah tidak tahu apa-apa.
"Sabar dulu belum habis diminum, ada apa buru-buru, ayo Yessy, habiskan dulu minuman kamu" Pak Eko berkata seolah tidak terjadi apa-apa juga.

Yessy langsung syok begitu melihat segelas penuh kencingnya sendiri dalam satu-satunya gelas yang berisi "minuman". Matanya menoleh ke pak Eko sambil berharap pak Eko tidak memaksa dia untuk meminum "minumam" dalam gelas itu.

"Ayo habiskan kalau kurang manis bisa tambah gula" sambil mengambil sedotan di atas meja dan memasukan nya ke dalam gelas tersebut.

Aku malu sekali harus meminum air kencing sendiri dalam gelas tinggi yang di beri sedotan lagi dan bukan saja itu melainkan di saksikan juga oleh 2 orang yang satu bahkan aku tidak tahu namanya dan mereka juga tahu bahwa itu adalah air kencingku sendiri. Tanganku gemetar memegang gelas yang hangat dan memasukan sedotan ke mulutku. Rasanya seperti berabad-abad dan kedua orang di depanku menunggu dengan penuh senyuman melihat aku minum.

Rasanya sedikit asin dan baunya sangat pesing. Warnanya kuning dan penuh busa. Nasi goreng di perutku rasanya mau keluar semua ketika cairan kuning itu mulai membasahi tenggorokanku dan lambungku. Minum segelas penuh rasanya lama sekali bahkan aku di paksa menghisap sampai habis tuntas dan menjilat gelas tersebut. Pelayan tersebut mengambil gelas tersebut dan diangkat ke atas sambil berkata

"Wah, nona ini hebat ya minumnya, mau tambah lagi"
"Tiiidak..," Tangisku.

Kami membayar lalu keluar dari Café diiringi ucapan terima kasih dari pelayan tersebut sambil berkata

"Lain kali datang lagi ya".

Aku hampir pingsan ketika pelayan tersebut membisikan sesuatu ke telingaku.

"Gelas itu tidak akan pernah ku cuci akan di taruh di atas pajangan dan di beri tulisan 'Yessy meminumnya sampai Habis' tiap kali kamu datang aku akan menceritakan peristiwa ini kepada tamu yang ada"

Lututku langsung lemas.

*****

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang bersedia membaca cerita ini. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih jika anda bersedia menyatakan tanggapan anda kepada saya.

Percayalah bahwa saran dan tanggapan anda sekalian sangat perlu bagi saya untuk menulis kisah lanjutan dan cerita ini. Saya perlu dukungan dari anda semua untuk terus berkarya.


E N D

Oleh: Lick_Tickle@yahoo.com


Pahit dan Manisnya Rin Kekasihku


Melanjutkan cerita pengalaman saya yang pertama dengan judul" Pengalaman Pertama Dioral", setelah Mbak Ami mengakhiri untuk tinggal di rumah orang tua saya dan selanjutnya masuk ke asrama Akademi Perawat, sayapun meninggalkan kota Yogya untuk kembali ke Bandung karena masa liburan sekolah sudah berakhir.

Kebetulan pada saat itu, saya mempunyai seorang kekasih teman satu sekolah, nama panggilannya Rin. Dia adalah anak ke 3 dari 8 bersaudara. Rin tinggal di Bandung bersama kakaknya sedangkan orang tua dan adik-adiknya menetap di luar Jawa. Selama berpacaran dengan Rin, saya belum pernah melakukan seperti apa yang saya lakukan dengan Mbak Ami di Yogya. Paling maksimal saya hanya mencium pipi atau kening Rin, itupun saya lakukan jika ada acara khusus.

Seperti biasanya, karena usai sekolah sore hari maka saya mengantarkan Rin pulang ke rumahnya di daerah Bandung Barat. Biasanya setelah sampai dirumah Rin saya langsung pulang, tapi hari itu saya sengaja untuk masuk dulu ke rumah Rin.

"Kamu mau saya temanin dulu apa nggak?" tanya saya kepada Rin.
"Temanin yach..., besok khan tanggal merah, lagian kakakku lagi nonton di luar", jawab Rin dengan ringannya.
"Ok, kalau gitu mobilnya saya masukin ke carport aja, nggak usah diparkir di jalan", balas saya sambil membuka pintu pagar rumahnya. Setelah memasukkan mobil, saya terus masuk ke ruang tamu dan duduk. Tidak begitu lama Rin ke ruang tamu sambil membawa teh hangat untuk saya.

"Aku ganti baju dulu, kamu minum dech" kata Rin kepada saya.
"Iya, aku nunggu di sini aja lah, kamu jangan lama-lama ganti bajunya" kata saya.

Tidak begitu lama, Rin telah kembali dengan menggunakan kaos dan celana pendek. Dia duduk di samping saya, begitu saya perhatikan ternyata satu kancing bagian atas kaosnya dibuka. Hal itu menimbulkan rangsangan untuk mencumbunya.

"Rin, kakakmu kira-kira pulang jam berapa" tanya saya.
"Yach... Paling juga jam 10 an sampai rumah, kenapa?" tanya Rin kepada saya.
"Nggak... Ya berarti masih ada waktu cukup" sahut saya lagi.
"Emang... Mau apa?" tanya Rin menyelidik

Kemudian saya menarik badan Rin untuk bersandar di badan saya dan saya tanya," Boleh saya cium kamu?"

Tanpa menunggu jawaban dari Rin, saya sudah mendaratkan bibir saya di bibirnya. Uch... Rin pun membalas ciuman saya ini dan dia juga membuka mulutnya dengan maksud agar lidahnya bisa menggapai lidah saya.

"Rin... Aku sayang sama kamu" kata saya seraya menghentikan untuk sesaat ciuman di bibirnya.
"He... Eh, aku juga" balas Rin sambil terus menggigit bibir dan lidah saya.

Sambil mencium, tangan saya juga sudah mulai mengelus punggungnya dan kemudian bergeser ke lengannya dan berhenti sejenak di sekitar ketiaknya. Tangan Rin pun semakin kencang memeluk badan saya, kelihatannya Rin sudah terbawa emosinya dan dia juga kelihatannya menikmati ketika saya mulai mencium belakang telinga dan lehernya.

"Shh... Ach... Ko, geli" desah Rin sambil ke dua tangannya memegang kepala saya.
"Rin..., suka ya...?" tanya saya sambil terus menciuminya dan tangan saya mengelus-elus lengannya.

Ciuman saya dari leher kemudian turun ke bagian bawah leher dimana kancing kaosnya sudah terbuka satu. Hanya sebentar ciuman saya di daerah itu, kemudian ciuman saya geser lagi ke bibirnya. Sambil berciuman, saya pindahkan tangan saya ke buah dadanya dan saya usap- usap dari luar kaosnya dengan sekali-kali saya remas.

"Ko... Jangan... Sakit" bisik Rin sambil kepalanya mendongak ke atas. Tangan sayapun terus mencoba untuk masuk melalui kancing yang telah terbuka dan langsung menyusup ke dalam cup bra nya.

"Ach..." desah Rin, sambil tangannya ikut memegangi tangan saya, ntah maksudnya melarang atau mempertahankan tangan saya untuk terus mengolahnya. Tetapi..., setelah beberapa saat saya meremas buah dadanya, tiba-tiba...

"Plak..." tangan Rin pun menampar pipi saya. Kaget juga saya dengan tamparan dia itu, saya pikir saking enaknya di remas buah dadanya sehingga dia menjadi begitu tenyata sebaliknya, dia kaget karena diremas-remas buah dadanya.

"Kamu... Ngapain Ko..." tanya Rin kepada saya.
"Ech..., kenapa kamu nggak mau" saya balik bertanya.
"Iya... Jangan nggak boleh khan" balas Rin.
"Ya sudah... Maaf ya" kata saya sambil kemudian saya membetulkan duduk saya.

Untuk beberapa saat kami berdua terdiam, mungkin Rin menyesali apa yang baru saja terjadi dan saya menyesali karena apa yang saya rencanakan tidak terpenuhi padahal penis saya sudah mengeras karena terangsang. Dengan berat hati, saya akhirnya minta ijin untuk pulang.

"Kamu kesel yach... Saya nggak mau" tanya Rin kepada saya.
"Nggak, kenapa, saya tidak mau memaksa khok" jawab saya kemudian.
"Ko..., saya sayang sama kamu tapi saya belum bisa untuk menerima apa yang tadi kamu lakukan dan jika hal itu kita lakukan pasti ingin mengulang terus" begitu penjelasan Rin kepada saya.
"Nggak apa-apa khok, nggak usah kamu pikirin lagi dech Rin" balas saya sambil berdiri untuk pulang.
"Saya pulang ya dan maaf soal tadi" kata saya kepada Rin, kemudian saya kecup keningnya.
"Iya dech hati-hati nggak usah ngebut" kata Rin.

Setelah kejadian malam itu, hubungan saya dengan Rin tetap berlangsung terus dan paling maksimal saya hanya mengecup bibirnya sebentar tanpa ada aktivitas lainnya. Tidak terasa hubungan kami sudah mencapai 2 tahun dan kami berdua lulus dari SMA di Bandung. Saya melanjutkan ke salah satu perguruan tinggi terkenal di Yogya dan Rin kuliah di Bandung. Kami hanya berkomunikasi dengan telepon atau surat dan bertemu jika masa kuliah sedang libur dan tidak terasa telah lebih dari 1 tahun kami berhubungan jarak jauh.

Sampai suatu malam, sehabis kuliah saya dibonceng oleh teman kuliah saya yang bernama Ipin melintas dikawasan Malioboro biasa mau cuci mata karena sudah sumpek dengan kuliah seharian dan saya dikagetkan ketika melihat satu rombongan yang menarik perhatian saya dimana saya lihat Rin berada di antara rombongan itu.

"Ipin, kita ikutin rombongan itu, kayaknya aku liat Rin dech" kata saya.
"Hah... Masa sich, khok kamu bisa nggak tahu kalau dia ke Yogya" balas Ipin dengan nada kaget.

Ipin tahu kalau saya punya kekasih di Bandung yang namanya Rin.

"Iya nich... Jangan-jangan aku salah liat, tapi kita ikutin aja lah paling nggak kita bisa tahu mereka nginap dimana" balas saya kemudian.

Akhirnya saya dan Ipin mengikuti rombongan itu dan saya pastikan kalau yang saya liat itu adalah Rin tidak salah lagi. Kita ikuti sampai mereka masuk ke sebuah hotel di samping stasiun.

"Sudah, samperin aja Ko, cuek aja... Khok dia nggak kasih kabar sama kamu" kata Ipin kepada saya ketika melihat saya ragu mau ikut masuk ke hotel itu atau tidak.

"Ayo.. Lah, parkirin aja motornya kita datengin" balas saya kepada Ipin. Setelah memarkir motor, saya dan Ipin mendatangani receptionist dan menanyakan rombongan yang baru masuk tersebut.

"Selamat malam Mbak, mau nanya apa yang barusan rombongan dari Universitas 'xxx' dari Bandung" tanya saya kepada Mbak di receptionist.
"Iya, betul Mas, sudah 2 hari rombongan itu disini, besok pagi sudah mau check out ke Semarang" jawab Mbak nya itu.
"Bisa saya minta tolong dihubungi dengan salah satu dari rombongan itu namanya Rin?" tanya saya kepada si Mbak.
"Sebentar ya Mas, saya coba dulu" jawab si Mbak receptionist itu sambil mengangkat gagang telepon.

Tidak beberapa lama Rin terlihat menuju counter receptionist dan saya lihat muka dia kaget karena melihat saya.

"Hi..., khok tahu saya ada di sini" tanya Rin.
"Iya, tadi liat lagi jalan rame-rame di Malioboro" jawab saya ke Rin.

Setelah memperkenalkan teman saya Ipin kepada Rin, kemudian saya bertanya lagi ke Rin.

"Khok kamu nggak kasih kabar kalau mau ke Yogya" kata saya.
"Iya, sorry ya saya nggak sempet kasih tahu, besok juga sudah mau ke Semarang, disana 2 malam terus balik lagi ke Bandung. Kita lagi studi banding" balas Rin.

Tidak lama kemudian, datang seorang temannya Rin yang setelah dikenalkan ternyata bernama Rohim. Dengan nada yang agak sok dia bertanya kepada Rin,
"Siapa Rin?"
"Oh, ini temanku waktu SMA di Bandung, sekarang kuliah di Yogya" jawab Rin dengan nada ragu.

Saya kaget juga melihat wajah Rin yang ragu dan kenapa juga dia bilang saya temannya khok bukan pacar atau apalah... padahal saya dengan Rin sudah menjalin hubungan dekat selama 3 tahun lebih. Demikian percakapan awal yang tidak mengenakan dan akhirnya saya tidak mau berlama-lama di hotel tersebut dan saya bilang kepada Rin.

"Ok, nanti setelah kamu sampai di Bandung kasih tahu saya dan saya akan ke Bandung".

Dengan hati yang kesal dan dengan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di kepala, saya dan Ipin pulang. Ipin pun tahu perasaan saya tetapi dia diam saja tidak mau mengungkit masalah itu.

"Sudah... Ntar ke Bandung aja, di clear kan"komentar Ipin singkat, padat dan jelas.

Beberapa minggu setelah kejadian di Yogya dan liburan kuliah sudah mulai sayapun pergi ke Bandung dengan menggunakan bis malam. Setibanya di Bandung, setelah istirahat sebentar di rumah, saya berangkat menuju ke rumah Rin dengan membawa oleh-oleh. Dengan perasaan hati yang agak galau, saya menekan bel rumahnya dan tidak begitu lama Rin membukakan pintu pagar rumahnya.

"Eh... Ko, apa kabar, kapan sampainya?" tanya Rin.
"Tadi subuh naik bus malam. Ini dibawain bakpia untuk di rumah" jawab saya sambil masuk ke rumahnya.
"Kok sepi, sedang pada pergi?" tanya saya lagi.
"Iya, lagi ke Ciwidey mau lihat Situ Patenggang" jawab Rin.
"Sebentar ya, saya buatkan teh dulu untuk kamu" kata Rin sambil berjalan ke arah dapur.

Sayapun kemudian duduk dan seperti biasanya di bawah meja tamu terdapat beberapa album dan saya mengambil satu yang paling atas. Mungkin ada foto-foto baru yang bisa saya lihat sambil menunggu. Sayapun membuka lembar demi lembar halaman album tersebut dan setelah beberapa halaman saya terkejut karena terdapat beberapa foto Rin berdua dengan Rohim dalam posisi seperti sepasang muda-mudi yang sedang mabuk asmara.

Ketika Rin datang dengan membawa teh hangat, saya tanyakan perihal foto-foto tersebut dan...

"Oh... Itu, ya cuma iseng aja foto berdua pas waktu di Yogya dan Semarang" Rin menjawab dengan mimik muka yang tampaknya dibuat setenang mungkin. Tetapi saya bisa menangkap semua itu.

"Tapi... Nggak ada apa-apa khok" kata Rin kemudian.

Dengan rasa kesal, saya tutup album itu.

"Kamu pacaran sama dia?" tanya saya kepada Rin.
"Nggak... yach akhir-akhir ini nggak tahu kenapa saya dekat dengan dia" jawab Rin dengan nada yang sedikit ragu.
"Kamu sich Ko... Pake kuliah di Yogya, jadi saya nggak ada yang nemenin di Bandung" lanjut Rin mencoba untuk memberi penjelasan.
"Maaf ya Rin, saya jadi nggak bisa nemenin kamu di Bandung" kata saya.

Kemudian saya meminum tehnya dan setelah itu saya tarik badan Rin untuk mendekat ke saya dan langsung saya cium bibirnya. Bibir kamipun saling bertemu dan terus sampai lidahpun ikut bertaut. Wach... sudah tambah pengalaman nich si Rin, saya berkata di dalam hati.

"Rin... Saya kangen ma kamu" kata saya.
"Iya... Aku juga, terus Ko... Ach..." desah Rin membalas ucapan saya.

Sayapun tidak hanya mencium bibirnya saja tapi bergerak terus menelusuri telinga, leher dan kembali lagi ke bibirnya. Tangan sayapun mulai bergerilya dengan mulai membuka kancing dari kaos yang dipakai, saya buka satu persatu dan akhirnya terbuka semuanya yang mengakibatkan saya bisa melihat dengan jelas bra yang menutup dua buah bukit kembarnya.

Dengan sedikit ragu-ragu, saya sentuh bagian atas buah dadanya dan sekali-kali saya elus dengan mengitari bagian yang menggunung dari buah dada Rin.

"Ach... Enak Ko... Geli..." kata Rin sambil mendesah manja.
"Boleh saya remes?" tanya saya...
"Iya... Ayo..." pinta Rin

Dengan rasa heran karena dulu Rin tidak mau, sayapun kemudian meremas dari luar cup bra nya dan setelah beberapa lama saya beranikan untuk menurunkan tali bra nya dan menarik sampai ke perutnya. Tampaklah dua buah bukit kembar yang masih ranum dengan putingnya yang agak menonjol.

"Rin... Bagus punyamu" kata saya sambil mengelus dan mendekatkan bibir saya untuk mengecup dan mengulum putingnya.
"Ko... Ayo, isap putingku ya" pinta Rin.

Tampaknya Rin sudah mulai terangsang dan saya pun tidak menyia-nyiakan permintaan Rin itu. Sambil mengulum putingnya dengan bergantian kiri dan kanan sambil meremas-remas buah dadanya, saya merasa tangan Rin mulai turun ke arah penis saya yang sudah tegang.

"Ko... Keras sekali punyamu" kata Rin sambil mengelus-elus penis saya dari luar celana saya.
"Buka Rin..." saya berkata kepada Rin dan tanpa ragu-ragu Rin pun membuka risleting celana saya dan mengeluarkannya.

Kemudian Rin pun mulai meremas-remas penis saya dan mengocoknya.

"Rin... Enak, terus... Ach..." desah saya dimana mulut saya terus mengulum dan mengisap putingnya bagian kiri dan kanan.

Melihat Rin semakin terangsang, saya memberanikan tangan saya untuk menjamah daerah terlarangnya. Saya usap sambil menekan ringan jari saya di bagian kewanitaannya dari luar celana pendek yang dipakainya.

"Ko... Khok tangannya ke situ?"tanya Rin sambil terus mendesah.
"Kenapa, kamu nggak mau?"saya balik bertanya.

Ternyata Rin diam saja bahkan desahannya semakin kuat. Melihat keadaan itu, saya semakin berani untuk menurunkan celana pendek Rin yang hanya memakai karet sekaligus dengan celana dalamnya. Untuk sekejap, Rin menahan laju tangan saya, tetapi setelah saya berhasil menurunkan celananya, akhirnya Rin diam saja dan bahkan merenggangkan ke dua kakinya.

Jari-jari tangan saya pun terus mengolah lahan yang selama ini ditutupinya, saya usap-usap dan sekali-kali jari tengah saya masuk ke dalam lubang kewanitaannya. Aktifitas ini saya lakukan untuk beberapa menit sampai akhirnya daerah kewanitaannya menjadi basah.

"Rin... Mulai basah tuch" kata saya .
"Iya... Enak Ko, terus Ko..., mau..." balas Rin dengan suara yang mendesah.

Kemudian saya menarik badan Rin agar berbaringkan di sofa ruang tamu dan tanpa ada penolakan Rin pun sudah berbaring. Aktivitas dari jari-jari tangan saya teruskan untuk mengolah lubang kewanitaan Rin, sambil terus memilin secara perlahan klitorisnya dan sekali- kali masuk ke dalam lubangnya, tangan saya pun berusaha untuk merenggangkan ke dua paha Rin agar lebih mudah. Tanpa adanya penolakan, entah karena sudah terangsang, Rin membuka lebar-lebar ke dua pahanya sehingga aktivitas jari saya semakin mudah di sekitar lubang kewanitaannya.

"Rin... Aku masukin ya" pinta saya...
"Jangan... Aku nggak mau" jawab Rin.

Rin menjawab begitu sambil terus menggoyangkan pinggulnya sehingga jari-jari tangan saya keluar masuk di lubangnya. Tangan Rin sendiri sekali-kali menahan laju tangan saya. Aktifitas mulut saya juga terus berlanjut di sekitar buah dadanya karena saya ingin membuat dia benar- benar terangsang dan akhirnya bersedia untuk bersetubuh.

Sayapun mencoba untuk berbaring di samping Rin sambil terus mengolah lubang kewanitaannya dan tangan Rin pun semakin meremas dan mengocok penis saya yang sudah benar-benar keras. Setelah beberapa lamai, sayapun sudah tidak tahan lagi dan mulai manaiki tubuh Rin agar penis saya bisa mendekat ke lubang kewanitaannya Rin.

"Tahan... Ya..." kata saya kepada Rin dengan nada memerintah secara halus.
"Jangan Ko... Aku nggak mau" kata Rin sambil mencoba untuk menahan penis saya yang sudah berada di depan lubangnya dan Rin berusaha untuk merapatkan kakinya tetapi tidak bisa karena saya berada di antara ke dua kakinya.

Sayapun terus memajukan penis saya, setelah bagian kepala penis saya tepat berada di lubang kewanitaannya saya mendorong agar kepala penisnya bisa masuk.

"Ach..." saya mendesah sambil terus mendorong agar penis saya bisa masuk seluruhnya.
"Ko... Jangan... Aduhhh... Sakit" kata Rin sambil berusaha untuk mendorong badan saya.
"Tahan Rin, sedikit lagi masuk semua..." kata saya selanjutnya.

Sampai akhirnya penis saya masuk seluruhnya dan kemudian saya diamkan sebentar agar lubang kewanitaan Rin beradaptasi dengan penis saya yang baru masuk. Setelah beberapa saat saya diamkan, saya coba untuk memaju dan mundurkan penis saya.

"Oh... Rin... Enak sekali, sempit sekali..." desah saya sambil terus memompa rongga kewanitaannya.
"Ko... sudah... Ko..., jangan diterusin" kata Rin dengan nada hampir menangis.

Saya terus saja memompanya... Slruuup... Slruuup... Begitulah suaranya ketika penis saya maju mundur. Raut muka Rin mulai memerah dan matanya pun mulai menutup seakan akan menahan rasa sakit di bagian lubang kewanitaannya. Namun demikian, jika saya perhatikan dari gerakan pinggulnya yang mulai bergoyang, saya yakin Rin mulai merasakan nikmatnya penis saya.

Rin terus menggoyangkan pinggulnya seirama dengan maju mundurnya penis saya dan setelah beberapa lama dengan posisi saya di atas, dari penis saya terasa ingin mengeluarkan air mani.

"Rin... Sebentar lagi saya mau keluar"kata saya.
"Ko... Sudah... Jangan diterusin" pinta Rin dengan air mata yang mulai keluar dan saya tetap tidak peduli dan terus memompanya.
"Rin... Saya keluar... Ach... Ach..." saya mengerang tertahan karena merasakan nikmatnya keluar di dalam lubang kewanitaan yang hangat.

Sayapun mengeluarkan banyak sekali air mani di dalam lubang kewanitaan Rin. Untuk beberapa saat saya diamkan penis saya untuk tetap di dalam lubang kewanitaan Rin. Sampai penis saya mengecil, baru saya tarik dan saya lihat air mani saya mengalir keluar dari lubang kewanitaan Rin dibarengi dengan bercak berwarna merah dan jatuh di sofa tempat kami barusan melakukan aksi persetubuhan.

"Rin... Saya sudah ambil perawan kamu" kata saya kepada Rin.
"Iya... Ko, kamu khok teganya begitu" balas Rin dengan suara agak parau.
"Saya bakalan hamil nggak, khan nggak boleh kita melakukan ini" lanjut Rin masih dengan suara yang agak parau.

Kemudian Rin berdiri dan berlari ke dalam kamarnya dan ke kamar mandi untuk membersihkan lubang kewanitaannya dari air mani yang telah saya keluarkan di dalam lubang kewanitaannya..

Setelah kejadian itu, saya berhasil beberapa kali bersetubuh dengan Rin sampai akhirnya dia memutuskan hubungannya dengan saya dan kemudian menikah dengan Rohim tanpa memberitahu saya sama sekali.

Saat ini, Rin tinggal di Jakarta dan sudah mempunyai 2 orang anak dari Rohim. Saya menyesal karena tidak bisa menjadi suaminya tetapi setelah saya pikir-pikir lagi ternyata saya lebih beruntung karena telah memperoleh keperawanan Rin dan saya tidak tahu bagaimana Rin menjelaskan kepada Rohim pada saat 'malam pengantin'nya berlangsung.

Rin, saya minta maaf karena saya telah membuat kamu berpikir keras untuk menjelaskan status keperawanan kamu kepada Rohim. Untuk Rohim, jangan paksa Rin untuk menjelaskan siapa yang mengambil keperawanan Rin. Dan untuk kalian berdua... Rin dan Rohim, mudah- mudahan perkawinan kalian langgeng tanpa mempermasalahkan hal-hal yang telah lampau.


E N D

Oleh: ggf66@plasa.com


Sonny Amulet 2: Roman Picisan


September 2000, nama saya Sonny Amulet dan saya ingin melanjutkan kisah saya...

*****

Sore itu gerimis telah berhenti dan lambaian tangan Erika dan Imel dari balik kaca mobil menambah kesejukan dihatiku. Terus terang udara sore yang dingin itu kontras dengan perasaanku yang masih 'hangat' karena pengalaman yang baru saja aku alami dengan seorang gadis manis bernama Imel. Masih terbayang wajahnya saat kugeluti diatas sofa kamar flat-ku. Baru kali ini kutemui gadis yang penuh 'kejutan' seperti dirinya. Sejenak sosok Imel memenuhi hatiku menggantikan bayangan Erika yang sepertinya masih jauh dari jangkauanku.

Dengan langkah malas aku berjalan ke tempat parkir mobilku. Erika menitipkan barang-barang yang dibawa Imel kepadaku. Barang-barang itu terdiri dari peralatan foto serta beberapa kamera buat keperluan kantor. Aku tadinya sempat senang melihat ada kemera kecil jenis probe yang biasa digunakan buat Close circuit TV karena jadi teringat akan film Sliver yang dibintangi Sharon Stone itu. Sempat membayangkan kalau saja aku bisa memasangnya di kamar tetanggaku di flat ini (seperti yang telah kuceritakan kalau para tetanggaku yang tinggal satu lantai rata- rata cewek semuanya) wah pasti asyk tuh!!.

Tapi ternyata keinginan tinggal keinginan, fantasi tinggal fantasi karena aku baru sadar; 'gimana meletakan kameranya serta ngatur kabelnya???'. Emangnya aku ini FBI atau intel yang bisa bikin yang kayak begituan? Aku jadi malu sendiri mikirin itu sambil mengakui dalam hati kalau aku ini kebanyakan nonton film semi' (hehehee...). Maka dengan malasnya aku menenteng tas besar berisi alat-alat tersebut ke kamarku di lantai 4 (tolooong!!!).

Karena pikiranku masih melayang memikirkan Imel, aku jadi berjalan tanpa begitu memperhatikan sekelilingku. Aku tidak memperhatikan ada sesosok bayangan yang juga sedang berjalan ke arah tangga. Dan ketika secara bersamaan mencapai tangga, badan kita saling bersenggolan seperti berebutan menaiki tangga tersebut.

"Oh maaf" kataku sambil terkejut.
"Sorry" terdengar jawaban disebelahku.

Bersamaan dengan itu hidungku tiba-tiba dibekap oleh aroma parfum yang halus namun menyenangkan. Aku segera menoleh penasaran ingin tahu siapa pemilik suara dan wangi tersebut.

Kemudian kulihat seorang gadis bertubuh ramping dengan wajah tirus yang terlihat begitu sensual dengan tulang pipi yang tinggi di wajahnya. Tampang gadis itu biasa saja tapi tulang pipi serta matanya yang besar dan bulat itu terlihat sangat menarik pandanganku. Dia menegurku dengan ekspresi ramah. Walaupun dia tidak mengucapkan sepatah kata-pun selain kata sorry tadi, terlihat dia seperti menyapaku dengan pandangan dapat di-'interpretasikan' macam-macam itu. Gadis itu segera mendahuluiku sambil melangkah cepat dan gesit menaiki anak tangga di depanku. Dari belakang baru terlihat kalau gadis itu memakai busana yang cukup 'berani'. Dia memakai kamisol berwarna krem dengan rok yang pendek (bisa dibilang mini) berwarna coklat dengan belahan yang cukup tinggi.

Sepasang kakinya yang ramping namun kencang itu terlihat sangat lincah menaiki anak tangga di depanku dengan langkah cepat. Sepatu berhak-tinggi yang dikenakannya tampak tidak mempengaruhi langkahnya yang lincah menaiki tiap anak tangga itu. Dia terlihat agak" murahan" dengan pakaian 'sumringah' seperti itu (lagipula di flat ini banyak tinggal berbagai jenis 'ayam'). Namun aku merasa ada sesuatu dalam tatapan mata dan nada suaranya yang membuatku merasa gadis itu bukan tipe 'komersial'. Walaupun hanya sepatah kata, aku merasakan adanya sikap penuh percaya diri dan inteletualitas dalam pandangan matanya.

Siapakah dia? pikirku. Aku tidak memastikan karena aku masih baru disini sehingga belum begitu mengenal wajah-wajah tetanggaku. Mungkin saja dia tinggal di lantai lain. Aku terdiam di ambang tangga melongo melihat sosok ramping itu menghilang di kelokan tangga. Peduli ah, pikirku, ketemu syukur, enggak ketemu lagi ya sudah. Aku segera menaiki tangga dengan sedikit terseok-seok. Tiba di ruang flat, aku sempat mengutak-atik beberapa peralatan fotografi yang ada dalam tas itu. Salut juga aku sama Imel melihat peralatan yang bakal dihadapinya itu. Peralatan yang cukup rumit bagi orang awam sepertiku.

Iseng-iseng aku mencoba-coba kamera probe yang berukuran kecil sebesar walkman itu. Aku mencoba meletakannya di berbagai tempat di ruanganku sambil melihat hasilnya yang dapat langsung dihubungkan ke televisi. Waw... pikirku, alangkah asyiknya kalau aku bisa gunakan buat ngintip cewek-cewek tetanggaku. Aku bayangkan bila kamera itu bisa kuselundupkan ke salah satu kamar mereka. Pastinya aku dapat menikmati hiburan gratis dan orisinil (hehehe). Tapi aku sadar kalau ternyata kabel standar yang tersedia kurang panjang untuk mencapai salah satu kamar tetanggaku. Kemudian aku iseng mencoba meletakkan kamera tersebut di kamar mandiku sambil mencari-cari sudut yang baik dengan membayangkan ada seorang wanita cantik sedang bugil disitu.

Lumayan sih menurutku setidaknya sampai disitulah usahaku. Mungkin nanti atau besok ada cewek yang kesini terus enggak sadar terekam di kamar mandiku khan enggak ada ruginya juga. Puas bermain-main dengan kamera-kamera itu, aku merebahkan diriku diatas permukaan lembut sofa kuning yang membawa 'hoki' itu. Siang ini cukup melelahkan buatku, untung cuaca yang gerimis menghilangkan penat yang biasanya menghiasi siang hari di Jakarta ini. Tanpa terasa aku terlelap diatas sofa itu dengan bayangan gadis misterius berwajah tirus tadi terus menggoda.

*... Tatap matamu bagai busur panah... Yang kau lepaskan ke jantung hatiku... *

Waktu menunjukan sekitar pukul delapan malam ketika aku terbangun karena mendengar suara ribut yang berasal dari kamar sebelahku. Segera kukenali suara itu milik pasangan suami istri Mas Agus sama Mbak Leny di kamar 43. Sejak hari pertama aku tinggal disini, pasangan itu selalu bertengkar tiap harinya. Aku betul-betul males nguping pertengkaran mereka yang enggak jelas juntrungannya. Biasanya aku nyetel cd keras-keras buat meredam suara menjengkelkan itu namun perut lapar membuatku segera keluar cari makan.

Cuaca malam yang dingin itu bikin aku nggak sempat mandi lagi langsung keluar kamar meninggalkan suara bising pertengkaran mereka. Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, para penghuni flat ini sepertinya memiliki prinsip hidup cuek dalam bertetangga. Hal itu membuat penghuni memiliki privacy yang besar (sesuatu yang tidak aku dapatkan kalau tinggal di tempat kost-apalagi jika yang punya kost juga tinggal di tempat yang sama). Seperti biasa aku makan malam di warung RB (Rotibakar) yang terletak diseberang flat, dimana aku biasanya manghabiskan satu porsi internet (indomie-telor-kornet) ditambah segelas STMJ (biar siaga setiap saat.. Hehehe).

Begitu aku melongok ke dalam warung itu sabaris senyum ramah menyambutku. Aku terkejut karena senyum itu bukan miliki Mas Heru-pemilik warung itu tapi milik seorang wanita manis yang juga tetanggaku-Mbak Ratri!.

"Eh Mbak makan disini?" aku menegur setengah salah tingkah.
"Sendirian aja Son?" pertanyaan dibalas dengan pertanyaan yang artinya cuma satu: basa-basi standar. Aku mengiyakan dengan mengangguk sambil tersenyum Kemudian duduk disampingnya diatas bangku kayu panjang. Mbak Ratri adalah tetanggaku di lantai empat itu. Dia menghuni ruang 44 bersama kakaknya Mbak Laras. Mbak Ratri bekerja sebagai Costumer Service di sebuah bank swasta sedang kakaknya Laras adalah seorang polwan.

Keduanya memiliki postur badan yang sama, tipe medium yang proporsional. Perbedaannya adalah kulit Mbak Ratri lebih putih dari kulit Mbak Laras, mungkin karena Mbak Laras itu polisi makanya kulitnya kalah putih. Selain itu yang sangat menyolok adalah sifat Mbak Ratri amat feminim dan keibuan. Perangainya begitu ramah dan hangat (mungkin karena dia costumer service kali yah). Mbak Ratri adalah tetangga pertama yang aku kenal dan sudah sering bertegur sapa denganku.

"Eh Sonny, kenalin nih sepupu saya Denita," Kata-kata Mbak Ratri menyadarkanku kalau dia tidak sendiri. Mbak Ratri memundurkan badannya sedikit memberikan ruang buat orang disebelahnya mengulurkan tangan padaku. BZZZT!!! bagaikan tersengat aliran listrik aku terkejut melihat seraut wajah tirus seorang gadis dengan matanya yang dalam dan tajam penuh provokasi menatapku sambil mengulurkan tangannya buat kenalan.

"Hmm... Sonny" Aku menyambut uluran tangannya tanpa dapat menyembunyikan ekspresi, alamak!! yang terpancar dari wajahku.
"Hai" ucapnya ramah.

Kuperhatikan jemari tangannya yang lentik itu manyalami tanganku dengan ganggaman yang mantap. Terus terang baru kali ini ketemu cewek yang menyalami tanganku dengan begitu 'niat' dan mantap.

"Sorry yah tadi aku nabrak kamu ditangga" kataku sambil membalas senyumnya.
"Ah its ok, bukan kamu tapi aku yang nabrak koq" dia menjawab sambil melepaskan senyumnya dengan bebas.

Kami kemudian menjelaskan kejadian itu pada Mbak Ratri. Selanjutnya kami bertiga tenggelam dalam obrolan yang menyenangkan dan akrab. Aku terkejut ketika tahu kalau Denita baru berusia 18 tahun. Gaya bicara dan sikapnya terlihat sangat dewasa dan penuh percaya diri. Terlalu matang buat gadis seusianya menurutku. Denita kemudian menjelaskan kalau dia kuliah di Melbourne Australia dan sedang liburan di Jakarta. Dia juga bilang kalau liburannya akah segera berakhir dan dia akan kembali ke sana akhir minggu ini. 'Jreeeng!! tiba-tiba secara otomatis muncul sebuah time schedule dalam benakku!

Denita ini adalah tropi yang harus aku 'dapatkan' sebelum akhir minggu ini!! Dan otomatis aku segera berhitung dangan schedule itu mengenai target-target yang harus aku capai. Pikiran kotorku itu berakhir ketika Mbak Ratri membayar makanan ke Mas Heru sekalian dengan makananku.

"Eh nggak usah Mbak biar aku saja" ucapku terburu-buru dengan perasaan bersyukur karena telah dibayarin (hehehe).
"Sudahlah biar Mbak aja yang bayar sekalian mau tukar duit nih," jawab Mbak Ratri sambil menyerahkan selembar uang seratus ribu yang disambut dengan pandangan kucel Mas Heru si pemilik warung karena dia harus ngubek-ngubek kotak penyimpanan uang untuk memberikan kembaliannya. Selesai makan, kami bertiga meninggalkan warung itu bersama-sama. Denita rupanya mau langsung pulang maka kami mengantarnya sampai ke mobilnya.

"Hmmm... Den kapan lagi kamu main-main kemari" ucapku malu-malu berusaha menyembunyikan niatku.
"Tuh Den, kapan lagi kamu kesini" ujar Mbak Ratri menggoda kami berdua.

Lega rasanya mengetahui Mbak Ratri memberi lampu hijau padaku.

"Hmmm kapan yah?" Denita terlihat seperti memikirkan sesuatu, aku menangkap maksudnya lalu barkata
"Gini aja Den.. Aku boleh minta no telepon kamu? biar kita kontak lewat telpon aja lagi"

Denita tersenyum dan memberikan no. telpon rumahnya padaku.

"Karena aku cuma sebentar disini jadi aku nggak pake HP.. Kamu harus ngebel ke rumah"
"Aku boleh juga dong minta nomor kamu," ujarnya setengah memerintah.

Sesuatu yang membuatku kagum padanya adalah sikap percaya diri yang mantap dan senantiasa menguasai keadaan. Mungkin itu disebabkan karena dia sejak sma sudah terbiasa hidup sendiri di luar negeri hingga punya sikap 'tough' seperti itu. Well, ngomong-ngomong tinggal di luar negeri, aku jadi ingat sama Imel. Itu bikin aku senang ' wah moga-moga dia juga freesex kayak Imel' (hehehe).

Denita menuliskan no HP-ku dibalik kartu namanya dan yang bikin aku tambah 'terprovokasi' adalah ketika dia spontan membalikan badanku lalu menggunakan pundak-ku sebagai alasnya menulis di kartu namanya.

"Pundak kamu lebar juga" ucapnya sambil berbisik.

Mendengar pengakuan itu, aku merasa seakan berubah menjadi Arnold Schwarzeneger! (siapapun cowok yang dipuji begitu sama cewek pasti egonya melengit.. Hehehe). Sesaat kemudian Denita berlalu sembil melambaikan tangan dari balik kemudi Opel Blazer-nya (bukan iklan lho aku nggak dibayar sepeser-pun sama Opel).

Aku dan Mbak Ratri kemudian beranjak meninggalkan areal parkir itu untuk kembali ke flat kami masing-masing.

"Mbak Laras koq nggak keliatan?" tanyaku sedikit berbasa-basi.
"Tadi sih diajak tapi dia lagi nggak enak badan katanya," jawab Mbak Ratri sembil membetulkan ikatan rambutnya.
"Eh Son, maaf yah kalau si Denita tadi terlalu gimana gitu" katanya lagi.

Rupanya dia merasa agak tidak enak karena sikap Denita yang rada- rada 'agresif' padaku. Biasalah mungkin dia takut aku berpikir macam- macam sama sepupunya itu.

"Ah nggak koq, anaknya asyik koq Mbak" jawabku, kali ini betul-betul jujur karena bagiku sikap seperti itu memang asyik (hehehe).
"Ya maklumlah soalnya dia khan sudah lama tinggal diluar jadi memang anaknya tuh ekspresif gitu" kata Mbak Ratri menjelaskan.
"Ah nggak apa-apa koq Mbak.. Ehm boleh dong kalau aku usaha ke dia" ujarku sambil becanda (padahal sih serius).
"Ah kamu tuh Son, sebentar lagi juga dia balik ke Ausi lagi.. Tapi kalau kamu tahan pacaran jarak jauh sih coba aja" ujarnya sambil tersenyum memperlihatkan sederet giginya yang putih itu.

Ya jelas boleh dong, lagian siapa juga yang mau pacaran' kataku dalam hati. Tidak terasa kami telah sampai ke depan pintu ruang masing-masing dan Mbak Ratri segera pamit dan menghilang dibalik pintu flat nomor 44 itu. Akupun segera kembali ke ruanganku dengan sofa kuning itu yang masih saja 'hangat' dengan sisa-sisa getaran nafsu yang aku lampiaskan tadi sore bersama Imel (baca kisah Sonny Amulet episode 2).

Suasana kembali terasa sepi dan suara pertengkaran dari ruang sebelah sudah tidak terdengar lagi. Mungkin mereka lelah dan jenuh sendiri bertengkar tanpa hasil atau telah kehabisan suara untuk berteriak dan menyumpah lagi. Atau mungkin saja mereka sekarang sedang menumpahkan segala gejolak dan amarah mereka dalam suatu senggama dahsyat dengan penuh nafsu dan dendam. Walah aku jadi membayangkan Mbak Leny tetanggaku disebelah itu bercinta dengan Mas Agus suaminya setelah bertengkar hebat. Bisa jadi mereka bercinta dengan gaya S&M seperti di film. Wah! koq jadi ngebayangin mereka? Kadang aku suka heran sendiri, kenapa isi kepalaku ini nggak jauh dari hal-hal seperti itu?
Sex melulu!. Apa memang orang seumurku mikirnya itu semua? (Yang aku tahu sih teman2 kampusku juga yang cowok pikirannya sama aja sama aku... Hehehe).

Suasana sepi itu justru membuatku tidak betah berada dalam ruang sepi ini sendirian. Akibat ketiduran tadi sore, mataku menjadi segar hingga sulit untuk diajak tidur. Pikiranku penuh dengan perasaan senang dan riang karena hari ini aku seperti mendapat banyak sekali kejutan. Mulai dari Imel tadi sore hingga Denita si manis berwajah tirus yang sangat provokatif.

Aku tidak menghitung berapa lama aku tenggelam dalam perasaan itu sampai tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Awalnya kupikir itu telpon dari Mbak Widya hingga aku langsung mnenrimanya tanpa melihat dari mana asal telpon tersebut.

"Halo" kataku singkat.
"Hai.. Son" terdengar suara merdu dari ujung sana.

Suara itu belum pernah kudengar di HP-ku sebelumnya. Jelas bukan suara Mbak Widya ataupun Erika, karena memang baru pertama kali suara itu terdengar melalui handphone-ku... Suara milik Denita!!.

"Halo..?" suara Denita memanggilku yang masih terbengong-bengong.
"Eh Den.. Kirain siapa" kataku sambil berusaha menguasai keadaan.
"Cepat juga kamu ingat sama suaraku Son"
"Tadinya aku mau kasih surprise ke kamu.. Kirain kamu sudah lupa" suara Denita terdengar sangat ekspresif.

Dari suaranya aku bisa membayangkan ekspresi wajahnya yang penuh keceriaaan dan gairah.

"Sekarang juga sudah surprise koq" jawabku, "Kamu belum tidur?"
"Belum nih aku lagi susah tidur"
"Kenapa? Mikirin aku yah?" katanya menggoda.
"Ehm banyak sih yang dipikirin" jawabku.
"Oh ya.. Apa aja tuh? Aku nggak dipikirin yah?"
"Justru itu aku mikirin kamu sampai sudah rencana mau ngajak kamu jalan..." aku kemudian menantikan reaksinya.
"Yup.. Thats what i have in mind" ujarnya riang.

Wah kalau tiap cewek kayak begini enak banget (hehehe)." Oh iya?" kataku belagak nggak percaya.

"Ehm besok malam kamu ada acara?" tanyaku dengan penuh harap.
"Ada tuh... Besok malam aku mau jalan" jawaban Denita agak menyurutkan keceriaanku.
"Ehm kalau lusa gimana?" kataku dengan semangat pantang menyerah.
"Kenapa lusa.. Besok aja gimana?" lho katanya dia enggak bisa besok.
"Besok tuh aku memang ada acara mau jalan... Dan aku mau ngajak kamu" suara tawa lepasnya kemudian terdengar memenuhi handphone-ku.
"1-0!" kata Denita lagi dengan manja.
"Ok deh... Non mau kemana besok" kataku dengan perasaan exciting.

Denita kemudian menyebut nama suatu cafe di daerah Kemang untuk tempat 'kencan' kita besok malam.

"Ok aku jemput kamu di rumah?" tanyaku.

Denita memintaku untuk menjemputnya di butik milik Mama-nya di daerah Kebayoran besok malam.

"Pick me up at 9 PM and don't be late" katanya singkat.
"Ok deh non... Jadi kita nge-date nih besok" ujarku menggoda.
"Yup... Its a date.. Baby" ujar Denita dengan nada menggodaku.

Aku hampir saja melompat manembus langit-langit flatku begitu kita mengakhiri pembicaraan di telpon. Waw! pikirku.. Terbayang sudah date ala barat yang (menurutku) biasa Denita lakukan di Australia. Kencan seperti itu biasa diakhiri dengan tidur bareng (dan aku sama sekali nggak keberatan tentang itu... Hehehe).

*... Desah nafasmu wangi hiasi suasana... Saat kukecup manis bibirmu... *

Pukul 10: 10 WIB keesokan harinya...

Kuliah Pemasaran dengan dosen yang membosankan baru saja selesai dan aku sedang duduk di kantin kampus bersama Adit salah satu teman 'cs'ku sambil menikmati batagor pak Somad ketika handphone-ku berbunyi. Kali ini pasti dari Mbak Widya karena hari ini aku ada janji sama Widya kakak-ku untuk pergi ke ITC. Aku bermaksud mengganti monitor komputer serta modem-ku yang kayaknya sudah mulai ketinggalan jaman. Mbak Widya memang sudah lama menjanjikan untuk membelikan-ku tapi baru kali ini ada kesempatan soalnya dia juga mau ikut sekalian mau melihat asesoris handphone.

Mbak Widya ternyata menelponku dari tempat parkir dan memintaku segera menyusulnya ke sana. Aku kemudian pamit dengan Adit yang telah menemaniku di kantin sambil mendengarkan cerita-ku tentang Denita.

"Ok deh.. Salam buat kakak-loe bilang gue kangeeen" suara Adit sengaja di-imutin terdengar menjijikan.
"Kangeeen muke-lu... Kenal aja nggak.. Ok deh, wish me luck" ujarku sambil bergegas meninggalkan kantin.
"Sooon jangan lupa bawa kooon... Ciii" kata Adit iseng.

Aku berjalan hingga agak jauh kemudian berbalik dan berteriak pada Adit

"Diiit... Batagornya lu bayarin dulu yaa" .

Adit tampak berkata-kata namun tidak terdengar suaranya karena jauh.. Yang kulihat hanya acungan kepalan tangannya pertanda kekesalannya padaku (hehehe... Makan tuh konci). Sebuah sedan berwarna biru menghampiriku sambil menurunkan kaca sebelah kirinya sehingga dapat terlihat jelas seraut wajah cantik dengan kacamata hitam tersenyum padaku sambil berkata.

"Sonny.. Mobil kamu parkir dimana?".
"Sebelah situ.. Ikutin Sonny aja Mbak" jawabku sambil berjalan ke arah mobilku dengan diikuti Mbak Widya dari mobilnya.

Hari itu aku membawa monitor komputer dan modem-ku buat ditukar-tambah. Segera setelah barang-barang itu aku pindahkan ke mobil Mbak Widya, kami berdua segera berangkat menggunakan mobil kakak-ku. Oh ya buat para pembaca yang belum tahu, Mbak Widya itu nama aslinya Theresia Widya dan dia berumur 28 th jadi lebih tua delapan tahun dariku. Saya adalah anak paling bungsu dari empat bersaudara. Kakak saya tertua Mas Yudha adalah seorang dokter dan dia tinggal di Surabaya bersama keluarganya.

Nomor dua adalah Mbak Widya yang masih single dan tinggal di Jakarta dia adalah seorang manager di perusahan penerbitan dan percetakan. Ketiga adalah Mbak Silvy, dia sudah menikah dan sedang sekolah S2 di Australia. Orang tuaku tinggal di Semarang, ayah adalah seorang dokter dan ibuku guru di sebuah SMA swasta di sana. Karena kita hanya berdua yang tinggal di Jakarta, maka hubunganku dengan Mbak Widya sangat dekat. Bisa dibilang dia yang selalu menolong dalam tiap keperluanku. Berbeda dengan kakak-ku yang lain, Mbak Widya adalah yang paling asyik buat diajak bicara dan bertukar pikiran. Dia membuatku tidak merasa seperti anak kecil bila jalan atau ngobrol dengannya. Itu berbeda dengan kakak-ku yang lain yang cenderung memposisikan diri mereka sangat 'formal' denganku.

Posisi dimana aku sebagai anak bungsu harus mendengar dan menuruti. Aku pikir mungkin itu karena mereka telah berkeluarga jadi lebih serius sedang Mbak Widya karena belum berkeluarga masih lebih 'nyambung' sama aku. Ya begitulah kira-kira kisah mengenai keluarga saya (lain kali aja diterusin). Seperti yang telah kuduga, rencana semula yang hendak mengganti monitor serta modem komputer dan melihat asesoris HP saja ternyata meleset. Karena setelah itu Mbak Widya jadinya malah belanja macam-macam. Mulai dari walkman sampai mini dispenser diborongnya. Walah 'pikirku dasar perempuan kalau sudah belanja kayaknya nggak bakal berhenti sampai semuanya diborong.

Akulah yang jadi korban nenteng ini itu terus bolak-balik ke mobil bawa belanjaan. Lumayan pegel sih, padahal sejak awal Mbak Widya sendiri sudah complain kakinya pegel karena dia pake sepatu yang haknya lumayan tinggi. Tetap aja dia yang bawaannya nggak mau udahan. Apa boleh buat para pembaca, soalnya aku lagi mau minjem mobilnya buat nge-date sama Denita jadi perlu juga sedikit kerja ekstra (no pain, no gain... Hehehe). Soalnya accu mobilku kayaknya sudah saatnya diganti dan kalau distater agak-agak susah gitu (kadang perlu dorong dan sedikit doa). So.. Aku nggak mau ambil resiko ngajak jalan cewek dengan mobil yang kondisinya miris gitu.

Akhirnya Mbak Widya mau meminjamkan mobilnya dengan syarat aku harus nganterin dia pulang sebelum jemput Denita nanti malam. Selain itu mobilnya harus langsung dibalikin malam itu juga.

"Tapi nanti habis nge-drop kamu di kampus, Mbak ada urusan sampai sore.. Kamu tunggu aja di flat.. Nanti sore Mbak ke sana ok?"
"Ok deh... Terserah lah yang penting malam ini Sonny pake mobilnya" kataku dengan antusias.

Mbak Widya kemudian mengantarku sampai ke kampus kemudian setelah memindahkan peralatan komputer yang baru saja dibeli, akupun segera pulang ke flat-ku dengan perasaan tidak sabar menantikan kencanku dengan Denita.

Pukul lima sore,

Aku telah bersiap-siap dengan 'full atribut' buat nge-date. Entah kenapa aku merasa kalau malam itu aku harus tampil 'prima' sampai-sampai dicermin aku ngerasa malu sendiri. 'Gile benar' pikirku, sudah lama aku nggak se-niat ini janjian sama cewek. Mungkin karena kali ini aku ngerasa kalau Denita itu adalah gadis yang cukup berkelas sehingga aku-pun harus berusaha tampil 'classy'. Selain itu pikirku Denita di Australi mungkin terbiasa nge-date dengan gaya barat dengan cowok- cowok bule disana dan seperti yang aku liat di film-film, cowok-cowok bule-kan biasanya romantis (sejujurnya saat itu aku sendiri nggak yakin, apa aku ini romantis atau malah blo'on).

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dipintu diiringi suara yang familiar "Son.." Suara Mbak Widya terdengar sangat menyejukan karena aku sempat gelisah kalau dia terlambat. Soalnya aku khan musti nganterin dia pulang dulu baru jemput Denita. Begitu pintu kubuka, Mbak Widya langsung masuk dengan agak tergesa-gesa.

"Lho kenapa Mbak?" tanyaku bingung.
"Sebentar Mbak mau ke kamar mandi dulu... sudah dari mobil tadi nahan pipis," jawab Mbak Widya langsung ngeloyor ke kamar mandi.
"Brak!" terdengar suara pintu kamar mandi ditutup langsung mengingatkan aku pada sesuatu.

'Walah kameranya probe'nya khan masih terpasang dan belum sempat aku beresin lagi dari kemarin!!. Perasaan kuatir melintasi benakku namun dengan otomatis aku bergegas ke arah tv dan menyalakannya. Ironis juga sih, aku sama sekali nggak menyangka kalau 'korban' pertama dari 'hidden kamera' itu adalah kakak-ku sendiri.

Dengan iseng aku menyalakan kamera itu sekedar memuaskan rasa penasaranku melihat seperti apa sih hasil 'bidikan' kamera itu. Kamera itu aku letakan di dalam keranjang di sela- sela tumpukan pakaian kotor. Karena posisi kameranya yang rendah, maka ketika dinyalakan yang terlihat hanyalah tubuh bagian pinggang ke bawah Mbak Widya yang berdiri membelakangi kamera. Karena wc di flatku bukan wc duduk tapi jongkok maka maka Mbak Widya melangkah ke atas injakan wc lalu berbalik menghadap kamera sambil tangannya terlihat merogoh kebalik roknya menurunkan celana dalamnya sebatas lutut.

Aku merasakan sensasi yang aneh karena jantungku mendadak berdebar kencang saat Mbak Widya mengangkat roknya kemudian berjongkok. Aku merasakan adanya 'conflict of interest' dalam diriku dimana hati kecilku merasa malu sendiri karena yang aku intip itu kakakku, namun disaat yang sama aku dilanda ereksi yang sangat kuat melihat organ kewanitaan Mbak Widya amat sangat ter-ekspos di depan mataku.

Dia berjongkok hingga kakinya membentuk posisi 'M'. Aku tidak berani melihat wajahnya walau dia tidak bisa melihatku. Dalam posisi seperti itu semuanya jelas terlihat mulai dari bagian pantatnya yang membentuk huruf 'W' hingga bibir kewanitaannya yang menyembul di bawah rimbunan hitam bulu-bulu kemaluannya. Sangat jelas hingga aku bisa melihat tahi lalat yang terletak persis disebelah kiri organ kewanitaannya. Aku sudah biasa melihat kemaluan wanita namun karena yang ini milik kakak-ku sendiri, aku merasa dengkul menjadi lemas dan perutku seperti mual karena tidak menyangka kalau aku bisa begitu terangsang melihat 'bagian rahasia' milik Mbak Widya.

Dulu Mbak Widya kulitnya sedang-sedang saja, namun sekarang dia tampak sangat putih dan mulus. 'Hmm jelas dia pasti merawatnya dengan telaten. Aku segera mematikan kamera dan televisi karena tidak sanggup menahan perasaan bersalah itu. Kesal juga aku melihat kelakuan 'Si Junior' dibalik celana dalamku yang tetap saja ereksi membabi-buta tanpa perasaan bersalah. Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut karena aku kuatir kualat dan kencanku dengan Denita bakalan gagal total akibat dosa ngintipin Mbak Widya.

Sesaat kemudian aku segera mengantarkan Mbak Widya pulang kerumahnya dengan berusaha menyembunyikan perasaan bersalahku kepadanya. Rupanya akibat kegiatan panjang seharian yang cukup melelahkan, Mbak Widya banyak diam selama perjalanan. Sesekali dia menenggak air mineral dalam botol yang menjadi kebiasaannya. Dia sempat bertanya mengenai Denita dan minta aku bercerita awal mula aku bertemu dengannya.

"Tapi lain kali kamu harusnya nggak usah berlebihan dalam memperlakukan cewek" katanya dengan nada menasihati.
"Kenapa sih nggak mau pake mobil kamu sendiri?... Nggak usah gengsi-gengsian dong.. Nanti kamu terjebak sendiri... Biasain kamu tampil sebagaimana adanya diri kamu... Cewek tuh suka cowok yang nunjukin respek bukan perhatian gombal dan picisan" ujarnya panjang sampai seolah dia bicara sendiri.

Nah itu satu-satunya hal yang nggak aku suka dari Mbak Widya.. kalau bicara suka panjang banget sehingga pas giliran aku ngomong, bingung mau jawab yang mana.

"Iya... Ini juga sekali aja koq.. Soalnya mobil Sonny aki-nya lagi soak.. Khan Mbak sendiri suka bilang kalau tidak ada kesempatan kedua buat kesan pertama" jawabku.

Sejujurnya aku masih merasa bersalah sama Mbak Widya karena kejadian tadi. Kesalahan seperti itu yang menurutku guilty feeling-nya paling besar. Mending kalau langsung dimarahin sama yang bersangkutan. Tapi kalau kita berbuat salah tanpa disadari oleh si 'korban', justru lebih terasa besar perasaan bersalah yang ditanggung. (Tapi kali ini sejujurnya aku bersyukur Mbak Widya nggak tahu... Soalnya enggak bisa dibayangkan kalau dia sampai tahu).

Setelah melewati lalu-lintas yang padat sore itu, akhirnya sampai juga di rumah Mbak Widya di daerah Bintaro. Seperti biasa setiap kali Mbak Widya tahu aku mau nge-date dia selalu bilang" Ingat Son.. Cara paling baik ngelakuin save sex adalah no sex at all" Dan seperti biasa aku selalu melakukan sebaliknya.. Atau setidaknya untuk kencan malam ini... Berusaha melakukannya! (Denita... Here i come.. Hehehe!).

Pukul setengah sembilan malam,

Aku menjemput Denita di butik milik ibunya-nya di daerah kebayoran lama. Begitu aku keluar dari mobil, Senyum Denita tampak tersungging cerah dari balik pintu kaca butik. Dia segera keluar dan manyambutku dengan ciuman di pipi. 'Walah aku sama sekali tidak menyangka bakal mendapat sambutan seperti itu. Betul-betul diluar skenario!. Sikap Denita terlihat sangat 'mesra' seakan kita telah kenal lama atau bahkan seperti kekasihku saja. Akupun segera menyesuaikan sikap dengan gaya 'let it flow' seperti yang dia tunjukan.

Sempat aku diperkenalkan kepada beberapa pegawai di butik itu yang sepertinya sangat akrab dengan Denita. Malam itu ibunya Denita sudah pulang duluan jadi aku tidak sempat bertemu. Kami lalu segera meluncur menuju sebuah cafe di kawasan Kemang.
Sepanjang perjalanan Denita banyak berbicara tentang hal-hal yang biasa dilakukan di Melbourne di saat seperti ini. Rasa percaya diriku makin tumbuh melihat Denita yang sangat 'comfort' padaku. Sifatnya demikian hangat hingga kita dengan mudah 'get along' bagaikan dua orang yang sudah lama kenal. Ternyata kita memiliki banyak persamaan. Khusus masalah hobi, Denita juga ternyata adalah pecandu komputer dan katanya dia sering online selama berjam-jam. Klop deh sama aku. Aku jadi berharap kalau dia juga memiliki 'hobi' lain yang sama denganku (hehehe).

Begitu tiba, Denita segera menggandeng tanganku mesra dan berjalan mendahuluiku memasuki cafe dengan penuh percaya diri. Denita mengenakan kaos ketat berlengan 3/4 berwarna peach dengan 'V' neck yang sangat rendah hingga belahan indah dibagian dadanya terlihat. Dia mengenakan rok pendek berwarna hitam dengan belahan yang sangat tinggi kira- kira sejengkal saja dari pinggangnya. Jujur saja aku kurang begitu comfort dengan cara berpakaian Denita. Aku memang sangat menyukai cewek berpakaian sexy namun gaya berpakaian Denita cenderung vulgar dan agak terlalu 'show off'. Mungkin karena terbiasa di luar negeri hingga dia sangat comfortable berpakaian seperti itu.

Begitu pikirku mencari pembenaran atas judgement-ku sendiri. Denita memiliki tinggi badan hanya sekitar 155 cm namun postur tubuhnya yang 'ramping' dan proprsional mambuatnya terlihat lebih tinggi. Dia memiliki sepasang kaki yang panjang dan terlihat begitu kencang kokoh diatas sepasang sepatu terbuka ber-hak tinggi yang dikenakannya. Tubuhnya tergolong kurus namun memiliki sepasang bukit yang ranum dan 'firm' di bagian dadanya. Wajahnya sebenarnya biasa saja, namun garis tulang pipinya yang tinggi berpadu dengan hidung bangir serta sepasang mata yang tajam dan penuh misteri menghasilkan kesan unik dan sensual.

Kulitnya yang putih cenderung pucat justru membuatnya begitu 'seductive' dalam keremangan lampu cafe. Selanjutnya kami berdua-pun tenggelam dalam suasana cafe yang menyenangkan dan cukup romantis itu. Tidak seperti kebiasaan cewek pada umumnya dalam memilih minuman di cafe, Denita sangat menyukai bir. Bahkan nyaris menghabiskan satu pitcher bir lokal seorang diri!. Dia mengakui bahwa kebiasaan itu didapatnya selama tinggal di Aussi. Akupun mengakui kemampuan minum Denita. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kalau dia mulai mabuk.

Omongan serta tatapan matanya tetap saja fokus dan derai tawanya yang lepas terdengar belum ngelantur. Terus terang saja aku sempat rada 'g-r' ketika Denita mengatakan bahwa selama dia berada di sini, baru kali ini dia bisa bertemu dengan seorang pria yang bisa mengimbanginya dalam pembicaraan yang serius. Denita memang seorang gadis yang jelas 'punya otak' dan bukan hanya 'punya badan' doang. Walaupun baru berumur 18 tahun, wawasannya begitu luas. Berbeda dengan cewek-cewek yang pernah nge-date sama aku, Denita adalah satu-satunya cewek yang omongannya tidak cuma masalah shoping, fashion atau hal-hal 'gaul' seperti pada umumnya cewek seumurannya (bahkan yang lebih tua darinya).

Kami bicara mulai dari penilaian pribadi satu sama lain hingga ke masalah kuliah, politik bahkan sejarah (what a lady!). Dia juga memuji kemampuan bahasa inggrisku yang katanya cukup baik. Kami ngobrol dalam pembicaraan yang 'bilangual, karena Denita ngomongnya campur Indonesia sama inggris. Bahkan aku sempat kagum akan keramahannya sampai- sampai dia sempat ngajak ngobrol seorang waitress yang malayani table kami dengan bahasa sunda (oh iya Denita itu campuran Sunda-Jawa). Pokoknya dia adalah tipe orang yang gampang 'say hi' dan bergaul.

Gayanya yang intelektual dan dominan mengingatkanku akan gaya Mbak Widya. Yang membedakan mungkin selain usia adalah cara berpakaian. Jelas gaya berpakaian Mbak Widya yang 'classy' sangat kontras dengan gaya berpakaian Denita yang 'seronok'.

"Eh Den, kamu oke-oke aja kan kalau pulang malam?" tanyaku.
"Nggak apa-apa kok.. Kenapa? ini juga khan sudah malam," jawabnya sambil memperlihatkan jam tangannya padaku.
"Maksudku tuh sampai after midnite gitu" kataku dengan penuh hati-hati (maksudnya sih ingin mancing dia).
"What?.. Memangnya mau kemana sampai jam segitu?" ucapnya dengan pandangan penuh selidik.
"Ya.. Ehm nggak kemana-mana sih.. Cuman nanya aja boleh kan?" jawabku membelokan pembicaraan.
"Maksudku tuh kenapa cuma sampai after midnite?... Kenapa nggak sampai pagi aja khan nanggung tuh" ujarnya dengan senyuman.
"Wah!" kata itu keluar dengan spontan dari mulutku.
"Huuu.. Maunya! Memang gitu yah maksud kamu mau ngajakin pulang pagi yah?" kata denita sambil mencubit tanganku.

Aku malah gugup mencari jawabannya. "2-0!.. Hihi" katanya dengan manja.

Denita rupanya ngerjain aku, dia tertawa renyah sambil menatapku menggoda.

"Yeee kamu tuh Den... Itu aja di'itungin" jawabku agak 'salting (malah nyaris salto).
"Ok.. kalau kamu masih mau ngajakin jalan lagi setelah ini boleh aja tuh... Mau kemana kita?" ucapan Denita yang 'menantang' itu bikin aku berpikir keras mencari jawaban yang 'menjurus' tapi 'aman' agak tidak kecele lagi.
"Hmm.. Terus terang aku senang banget malam ini Den, dan kayaknya aku masih mau ngomong banyak sama kamu" lalu aku melanjutkan lagi.
"Tapi enaknya kita cari tempat yang lebih tenang buat kita berdua.."

Aku sengaja menunjukan maksudku dengan cara halus, agar bila Denita menolak, pasti dengan cara halus juga. Dengan begitu tidak akan merusak suasana romantis yang telah terbina. Terlihat bola mata Denita bersinar dan menatapku dengan tatapan penuh gairah.

"Sonny kamu serius nih?" ujarnya minta kepastian.
"Yup.. Hmm maksudku kalau kamu keberatan sih its ok.. Mungkin aku terlalu cepat sih tapi ya.." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Denita memotong dengan berkata.
"Ya kemana dong?.. Tepatnya mau ngapain?".

Walah pertanyaan itu membuatku makin terpojok. Ibarat petinju yang sedang terpojok di sudut ring, aku memiliki tiga pilihan. Pertama adalah merapatkan double-cover menangkis serangan, kedua menyerang balik dan terakhir adalah lari keluar ring. Dengan segala pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk menyerang balik dengan frontal. Soalnya sudah kepalang tanggung dan kupikir Denita juga sudah memahami maksudku. Dia cuma sedang memancingku supaya aku yang lebih dulu mengutarakan maksudku. Sebagai cewek khan dia nggak mungkin ngajak ebih dulu, jadi sebagai cowok aku yang harus berani melontarkan 'hasrat' itu lebih dulu.

Entah kenapa aku memiliki keyakinan bahwa apa yang kupikirkan juga ada dlm pikiran Denita dan yang aku inginkan juga merupakan keinginan Denita. Maka aku menarik nafas panjang, menghisap rokok-ku dalam-dalam lalu menghembuskannya sambil berkata...

"Check-in yuk"...

Terus terang aku tidak yakin dengan penggunaan istilah itu tapi sepertinya itu lebih tepat daripada bilang 'ML yuk'. Selanjutnya waktu terasa berhenti berputar dan aku menahan nafas ketika menantikan reaksinya. Denita menatapku dalam-dalam, matanya yang cerdas itu terlihat bersinar riang. Senyum yang tersungging di bibirnya jelas menunjukan kemenangan baginya.

"Ok.. Siapa takut" katanya singkat sambil menghembuskan asap rokok putihnya.

Lega bercampur gembira saat mendengar jawabannya itu. Ibarat pemain sepak bola yang baru saja mencetak gol, ingin rasanya aku melakukan victory lap mengelilingi meja saking senangnya. Tapi jelas aku nggak melakukannya malahan aku menanggapinya dengan cool dan penuh ketenangan (maklum rasa percaya diri langsung terkatrol saat itu).

"Gimana kalau sekarang aja kita jalan" kataku meminta persetujuannya.
"Hmm.. Your place or my place?" balas Denita dengan santai.

Sepertinya dia sudah biasa dan cukup pengalaman dalam hal 'itu'. Jelas nggak mungkin di tempatku soalnya aku nggak enak sama Mbak Ratri kalau dia sampai tahu. Akupun mengajak Denita ke motel tempat biasanya aku check-in.

"Tapi Son, aku mau save sex.. So..."
"Sama koq Den, aku juga selalu prepare buat itu" jawabku sambil mengatakan kalau aku membawa kondom di dompetku.

Padahal sih sebenarnya bukan di dompet aja tapi di laci mobil juga ada soalnya tadi sebelum jemput dia aku sempat mampir ke apotik Melawai beli satu pak (sekalian buat stock.. Hehehe).

Kemudian kami berdua segera beranjak menuju ke tempat yang aku maksud. Motel itu terletak di pinggir jalan layang di daerah bypass. Sebenarnya banyak tempat untuk itu di selatan, namun aku lebih suka ke tempat dimana aku sudah familiar jadi tetap kupilih tempat 'langganan' itu.

Sepanjang perjalanan Denita tidak henti-hentinya bercanda dan menggodaku. Aku menanggapinya sekenanya saja karena dalam hati aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan. Tidak sabar ingin memuaskan hasrat yang menggelora sejak pertama kali aku melihat Denita.

Tidak lama sesudah keluar dari jalan tol, motel itu sudah terlihat di seberang jalan dan akupun tinggal berbalik arah untuk mencapainya." Tuh dia tempatnya Den" kataku dengan penuh keyakinan. Denita teridam sesaat kemudian di merubah posisi duduknya hingga mengarah kepadaku lalu barkata,

"Ehm.. Son.. benar kamu mau ngajakin aku check-in?". Walah masih saja dia ingin memancingku. Lalu dengan tersenyum aku menjawab...
"Iya lah sudah sampai disini masak kamu belum percaya juga sih Den" .

Begitu aku menoleh ke arahnya tiba-tiba aku melihat ekspresi aneh di wajah Denita. Dia memandangku dengan tatapan yang serius.

"Ya Ampun... Koq jadi beneran sih?" nada suaranya meninggi membuatku tiba-tiba merasa cemas.
"Lho memangnya kenapa?.. Something wrong?" tanyaku heran.

Aku masih merasa kalau Denita hanya sedang menggodaku. Dia menatapku lama lalu kemudian ekspresi wajahnya berubah, kali ini ada rona kekecewaan di matanya. Jantungku berdetak keras dan pikiran terburuk segera menghantuiku.

"Nggak sih... Nggak ada yang salah... Mungkin aku yang salah" katanya sambil melepas tatapannya dariku dan menatap jauh ke dapan. Karena pintu gerbang motel itu sudah makin dekat, aku segera menepi dan melambatkan kecepatan mobil.
"Sorry ya Son aku tuh sama sekali nggak nyangka kalau kamu betul-betul mau ngajakin check-in... Kupikir kamu cuma becanda aja".

Rasa malu bercampur bingung melanda diriku dengan seketika!. Walah! aku telah terjebak dalam obsesiku sendiri!.

"Ehm.. Eh.. Maksud kamu.. Kamu belum pernah.."

Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku karena lidahku mendadak kelu dan pita suaraku seperti menolak untuk berbunyi.

"Hmm bukan gitu.. Ya aku ngerti sih maksud kamu tapi.. Aku nggak bisa..." suara Denita terhenti sejenak lalu melanjutkan.
"Aku nggak bisa.. You know, sleep with someone yang baru aku kenal.. Maksudku this is our first date.. Aku nggak bisa.. Belum siap aja.. Sorry yah Son" Kalimat terakhir itu terdengar bagai sangkakala hari kiamat buatku.

Dengan kata lain, alangkah kurangajar-nya diriku karena belum dua hari kenalan terus baru jalan sekali sudah ngajak tidur bareng. Bahkan mungkin di Aussie sekalipun nggak ada cowok yang segila aku ini, main tembak aja. Walah' gawat nih Denita pasti berpikir kalau aku mengira dia cewek murahan. Atau malah jangan-jangan dia tuh belum pernah 'ML' dan aku tertipu oleh penampilannya yang dewasa dan stereotip yang ada dalam benakku bahwa cewek yang tinggal diluar negeri tuh biasa freesex. Ingin rasanya aku berteriak agar tersadar dari 'mimpi buruk' ini tapi tidak bisa, karena ini adalah kenyataan. Aku terbawa suasana sehingga tidak bisa membedakan mana obsesiku dan mana kenyataan.

Bahkan aku tidak paham kalau tadi Denita hanya bercanda saat meng-iyakan ajakanku.

"Tadinya kupikir kamu mau ngajakin aku kemana gitu.. Sekedar jalan-jalan aja khan sudah lama aku nggak tahu kemajuan di jakarta" suara Denita kali ini terdengar kembali friendly.

Sepertinya dia membaca ekspresi menyesal dan malu di wajahku dan tidak ingin membuatku tambah kikuk di depannya.

"Maaf banget nih Den.. Soryyy banget soalnya kupikir kamu tadi serius" kataku dengan suara kering (Kering dan gersang!).
"Aku benar-benar nggak menyangka kalau disini juga sudah umum ngajak check-in saat nge- date pertama kali" suaranya halus namun bagiku itu sebuah sindiran yang menampar wajahku dengan telak!.
"Benar lho aku nih malu banget.. Soalnya kamu serius sih pas ngomong tadi" jawabku dengan pasrah diiringi senyum kecut.
"But its ok koq.. Aku salut sama keberanian kamu ini" katanya memuji namun tetap saja pujian itu tidak sanggup mengatrol rasa percaya diriku yang telah terbang bersama angin malam (Oh angin malam bawa daku... Seperti kata almarhum Broery Pesolima dalam lagunya Berhembus angin malam).

"Wah jadi 3-0 deh sekarang" jawabku menghitung skor 'kekalahanku'.
"Nggak koq.. Yang ini nggak dihitung... Cuma salah paham aja koq" kata Denita sambil tersenyum menepuk pundaku.

Tepukan di pundak itu justru membuatku makin merasa bersalah dan tidak berarti sama sekali.

"Sudah lah... Mending kamu anterin aku pulang sekarang.. Nanti aja kita bahas lagi masalah ini"

Waduh berat rasanya mengarungi perjalanan ke rumah Denita yang terletak di daerah Kebayoran. Kami kembali melewati jalan tol yang sama, hanya kali ini ke arah yang berlawanan dan juga dengan perasaan yang berlawanan. Kalau tadi aku melewatinya dengan perasaan 'exited', sekarang aku lewati dengan mati rasa sama sekali. Denita terus saja mengajaku ngobrol tentang hal-hal lain. Dia seperti ingin menghiburku dengan tidak mengungkit masalah tadi. Aku malah ingin mengubur diri karena merasa perjalanan ke rumah Denita begaikan hukuman dari kebodohanku tadi. Aku sempat berpikir jangan-jangan aku kualat dan ketiban sial akibat ngintipin Mbak Widya tadi sore. Baru kali ini aku kecele mentah- mentah dalam hal seperti ini. Atau mungkin kali ini sudah saat aku kena 'batunya'.

Sepandai-pandainya tupai melompat, bla bla bla bla.. Itu adalah peribahasa yang terlintas dalam benakku saat mencoba ber-introspeksi akan kegagalanku saat itu. Ini mungkin yang dimaksud dengan istilah " Total Humiliation". Aku cuma bisa berbisik dalam hati.. 'There goes my romantic evening'.

*... Aku berdansa diujung gelisah... Diiringi merdu lembut lagumu... *

Pukul 00:25 Wib tengah malam,

Kami tiba di depan rumah Denita yang terlihat mewah (kalau bisa disebut megah) di kawasan Kebayoran lama Jakarta Selatan. Satpam penjaga rumahnya menyambut kami dengan ramah (jelas lah, soalnya ada Denita coba kalau aku datang sendirian malam-malam begitu pasti dipelototin). Aku merasa ngggak enak dan ingin segera pamit padanya namun Denita memintaku turun dulu dan mampir sejenak dirumahnya.

"Nggak sopan lho kalau nolak permintaan tuan rumah," begitu katanya dengan nada agak genit.

"Eh Den, kamu oke-oke aja kan kalau pulang malam?" tanyaku.
"Nggak apa-apa kok.. Kenapa? ini juga khan sudah malam," jawabnya sambil memperlihatkan jam tangannya padaku.
"Maksudku tuh sampai after midnite gitu" kataku dengan penuh hati-hati (maksudnya sih ingin mancing dia).
"What?.. Memangnya mau kemana sampai jam segitu?" ucapnya dengan pandangan penuh selidik.
"Ya.. Ehm nggak kemana-mana sih.. Cuman nanya aja boleh kan?" jawabku membelokan pembicaraan.
"Maksudku tuh kenapa cuma sampai after midnite?... Kenapa nggak sampai pagi aja khan nanggung tuh" ujarnya dengan senyuman.
"Wah!" kata itu keluar dengan spontan dari mulutku.
"Huuu.. Maunya! Memang gitu yah maksud kamu mau ngajakin pulang pagi yah?" kata denita sambil mencubit tanganku.

Aku malah gugup mencari jawabannya. "2-0!.. Hihi" katanya dengan manja.

Denita rupanya ngerjain aku, dia tertawa renyah sambil menatapku menggoda.

"Yeee kamu tuh Den... Itu aja di'itungin" jawabku agak 'salting (malah nyaris salto).
"Ok.. kalau kamu masih mau ngajakin jalan lagi setelah ini boleh aja tuh... Mau kemana kita?" ucapan Denita yang 'menantang' itu bikin aku berpikir keras mencari jawaban yang 'menjurus' tapi 'aman' agak tidak kecele lagi.
"Hmm.. Terus terang aku senang banget malam ini Den, dan kayaknya aku masih mau ngomong banyak sama kamu" lalu aku melanjutkan lagi.
"Tapi enaknya kita cari tempat yang lebih tenang buat kita berdua.."

Aku sengaja menunjukan maksudku dengan cara halus, agar bila Denita menolak, pasti dengan cara halus juga. Dengan begitu tidak akan merusak suasana romantis yang telah terbina. Terlihat bola mata Denita bersinar dan menatapku dengan tatapan penuh gairah.

"Sonny kamu serius nih?" ujarnya minta kepastian.
"Yup.. Hmm maksudku kalau kamu keberatan sih its ok.. Mungkin aku terlalu cepat sih tapi ya.." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Denita memotong dengan berkata.
"Ya kemana dong?.. Tepatnya mau ngapain?".

Walah pertanyaan itu membuatku makin terpojok. Ibarat petinju yang sedang terpojok di sudut ring, aku memiliki tiga pilihan. Pertama adalah merapatkan double-cover menangkis serangan, kedua menyerang balik dan terakhir adalah lari keluar ring. Dengan segala pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk menyerang balik dengan frontal. Soalnya sudah kepalang tanggung dan kupikir Denita juga sudah memahami maksudku. Dia cuma sedang memancingku supaya aku yang lebih dulu mengutarakan maksudku. Sebagai cewek khan dia nggak mungkin ngajak ebih dulu, jadi sebagai cowok aku yang harus berani melontarkan 'hasrat' itu lebih dulu.

Entah kenapa aku memiliki keyakinan bahwa apa yang kupikirkan juga ada dlm pikiran Denita dan yang aku inginkan juga merupakan keinginan Denita. Maka aku menarik nafas panjang, menghisap rokok-ku dalam-dalam lalu menghembuskannya sambil berkata...

"Check-in yuk"...

Terus terang aku tidak yakin dengan penggunaan istilah itu tapi sepertinya itu lebih tepat daripada bilang 'ML yuk'. Selanjutnya waktu terasa berhenti berputar dan aku menahan nafas ketika menantikan reaksinya. Denita menatapku dalam-dalam, matanya yang cerdas itu terlihat bersinar riang. Senyum yang tersungging di bibirnya jelas menunjukan kemenangan baginya.

"Ok.. Siapa takut" katanya singkat sambil menghembuskan asap rokok putihnya.

Lega bercampur gembira saat mendengar jawabannya itu. Ibarat pemain sepak bola yang baru saja mencetak gol, ingin rasanya aku melakukan victory lap mengelilingi meja saking senangnya. Tapi jelas aku nggak melakukannya malahan aku menanggapinya dengan cool dan penuh ketenangan (maklum rasa percaya diri langsung terkatrol saat itu).

"Gimana kalau sekarang aja kita jalan" kataku meminta persetujuannya.
"Hmm.. Your place or my place?" balas Denita dengan santai.

Sepertinya dia sudah biasa dan cukup pengalaman dalam hal 'itu'. Jelas nggak mungkin di tempatku soalnya aku nggak enak sama Mbak Ratri kalau dia sampai tahu. Akupun mengajak Denita ke motel tempat biasanya aku check-in.

"Tapi Son, aku mau save sex.. So..."
"Sama koq Den, aku juga selalu prepare buat itu" jawabku sambil mengatakan kalau aku membawa kondom di dompetku.

Padahal sih sebenarnya bukan di dompet aja tapi di laci mobil juga ada soalnya tadi sebelum jemput dia aku sempat mampir ke apotik Melawai beli satu pak (sekalian buat stock.. Hehehe).

Kemudian kami berdua segera beranjak menuju ke tempat yang aku maksud. Motel itu terletak di pinggir jalan layang di daerah bypass. Sebenarnya banyak tempat untuk itu di selatan, namun aku lebih suka ke tempat dimana aku sudah familiar jadi tetap kupilih tempat 'langganan' itu.

Sepanjang perjalanan Denita tidak henti-hentinya bercanda dan menggodaku. Aku menanggapinya sekenanya saja karena dalam hati aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan. Tidak sabar ingin memuaskan hasrat yang menggelora sejak pertama kali aku melihat Denita.

Tidak lama sesudah keluar dari jalan tol, motel itu sudah terlihat di seberang jalan dan akupun tinggal berbalik arah untuk mencapainya." Tuh dia tempatnya Den" kataku dengan penuh keyakinan. Denita teridam sesaat kemudian di merubah posisi duduknya hingga mengarah kepadaku lalu barkata,

"Ehm.. Son.. benar kamu mau ngajakin aku check-in?". Walah masih saja dia ingin memancingku. Lalu dengan tersenyum aku menjawab...
"Iya lah sudah sampai disini masak kamu belum percaya juga sih Den" .

Begitu aku menoleh ke arahnya tiba-tiba aku melihat ekspresi aneh di wajah Denita. Dia memandangku dengan tatapan yang serius.

"Ya Ampun... Koq jadi beneran sih?" nada suaranya meninggi membuatku tiba-tiba merasa cemas.
"Lho memangnya kenapa?.. Something wrong?" tanyaku heran.

Aku masih merasa kalau Denita hanya sedang menggodaku. Dia menatapku lama lalu kemudian ekspresi wajahnya berubah, kali ini ada rona kekecewaan di matanya. Jantungku berdetak keras dan pikiran terburuk segera menghantuiku.

"Nggak sih... Nggak ada yang salah... Mungkin aku yang salah" katanya sambil melepas tatapannya dariku dan menatap jauh ke dapan. Karena pintu gerbang motel itu sudah makin dekat, aku segera menepi dan melambatkan kecepatan mobil.
"Sorry ya Son aku tuh sama sekali nggak nyangka kalau kamu betul-betul mau ngajakin check-in... Kupikir kamu cuma becanda aja".

Rasa malu bercampur bingung melanda diriku dengan seketika!. Walah! aku telah terjebak dalam obsesiku sendiri!.

"Ehm.. Eh.. Maksud kamu.. Kamu belum pernah.."

Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku karena lidahku mendadak kelu dan pita suaraku seperti menolak untuk berbunyi.

"Hmm bukan gitu.. Ya aku ngerti sih maksud kamu tapi.. Aku nggak bisa..." suara Denita terhenti sejenak lalu melanjutkan.
"Aku nggak bisa.. You know, sleep with someone yang baru aku kenal.. Maksudku this is our first date.. Aku nggak bisa.. Belum siap aja.. Sorry yah Son" Kalimat terakhir itu terdengar bagai sangkakala hari kiamat buatku.

Dengan kata lain, alangkah kurangajar-nya diriku karena belum dua hari kenalan terus baru jalan sekali sudah ngajak tidur bareng. Bahkan mungkin di Aussie sekalipun nggak ada cowok yang segila aku ini, main tembak aja. Walah' gawat nih Denita pasti berpikir kalau aku mengira dia cewek murahan. Atau malah jangan-jangan dia tuh belum pernah 'ML' dan aku tertipu oleh penampilannya yang dewasa dan stereotip yang ada dalam benakku bahwa cewek yang tinggal diluar negeri tuh biasa freesex. Ingin rasanya aku berteriak agar tersadar dari 'mimpi buruk' ini tapi tidak bisa, karena ini adalah kenyataan. Aku terbawa suasana sehingga tidak bisa membedakan mana obsesiku dan mana kenyataan.

Bahkan aku tidak paham kalau tadi Denita hanya bercanda saat meng-iyakan ajakanku.

"Tadinya kupikir kamu mau ngajakin aku kemana gitu.. Sekedar jalan-jalan aja khan sudah lama aku nggak tahu kemajuan di jakarta" suara Denita kali ini terdengar kembali friendly.

Sepertinya dia membaca ekspresi menyesal dan malu di wajahku dan tidak ingin membuatku tambah kikuk di depannya.

"Maaf banget nih Den.. Soryyy banget soalnya kupikir kamu tadi serius" kataku dengan suara kering (Kering dan gersang!).
"Aku benar-benar nggak menyangka kalau disini juga sudah umum ngajak check-in saat nge- date pertama kali" suaranya halus namun bagiku itu sebuah sindiran yang menampar wajahku dengan telak!.
"Benar lho aku nih malu banget.. Soalnya kamu serius sih pas ngomong tadi" jawabku dengan pasrah diiringi senyum kecut.
"But its ok koq.. Aku salut sama keberanian kamu ini" katanya memuji namun tetap saja pujian itu tidak sanggup mengatrol rasa percaya diriku yang telah terbang bersama angin malam (Oh angin malam bawa daku... Seperti kata almarhum Broery Pesolima dalam lagunya Berhembus angin malam).

"Wah jadi 3-0 deh sekarang" jawabku menghitung skor 'kekalahanku'.
"Nggak koq.. Yang ini nggak dihitung... Cuma salah paham aja koq" kata Denita sambil tersenyum menepuk pundaku.

Tepukan di pundak itu justru membuatku makin merasa bersalah dan tidak berarti sama sekali.

"Sudah lah... Mending kamu anterin aku pulang sekarang.. Nanti aja kita bahas lagi masalah ini"

Waduh berat rasanya mengarungi perjalanan ke rumah Denita yang terletak di daerah Kebayoran. Kami kembali melewati jalan tol yang sama, hanya kali ini ke arah yang berlawanan dan juga dengan perasaan yang berlawanan. Kalau tadi aku melewatinya dengan perasaan 'exited', sekarang aku lewati dengan mati rasa sama sekali. Denita terus saja mengajaku ngobrol tentang hal-hal lain. Dia seperti ingin menghiburku dengan tidak mengungkit masalah tadi. Aku malah ingin mengubur diri karena merasa perjalanan ke rumah Denita begaikan hukuman dari kebodohanku tadi. Aku sempat berpikir jangan-jangan aku kualat dan ketiban sial akibat ngintipin Mbak Widya tadi sore. Baru kali ini aku kecele mentah- mentah dalam hal seperti ini. Atau mungkin kali ini sudah saat aku kena 'batunya'.

Sepandai-pandainya tupai melompat, bla bla bla bla.. Itu adalah peribahasa yang terlintas dalam benakku saat mencoba ber-introspeksi akan kegagalanku saat itu. Ini mungkin yang dimaksud dengan istilah " Total Humiliation". Aku cuma bisa berbisik dalam hati.. 'There goes my romantic evening'.

*... Aku berdansa diujung gelisah... Diiringi merdu lembut lagumu... *

Pukul 00:25 Wib tengah malam,

Kami tiba di depan rumah Denita yang terlihat mewah (kalau bisa disebut megah) di kawasan Kebayoran lama Jakarta Selatan. Satpam penjaga rumahnya menyambut kami dengan ramah (jelas lah, soalnya ada Denita coba kalau aku datang sendirian malam-malam begitu pasti dipelototin). Aku merasa ngggak enak dan ingin segera pamit padanya namun Denita memintaku turun dulu dan mampir sejenak dirumahnya.

"Nggak sopan lho kalau nolak permintaan tuan rumah," begitu katanya dengan nada agak genit. Aku sebenarnya ragu untuk mengiyakan tapi juga merasa bersalah untuk menolak permintaannya. Perasaanku sudah kering dan hampa sejak kejadian tadi namun sepertinya Denita tidak terlalu menghiraukan ekspresi 'garing' diwajahku. Rasa bersalah membuatku tidak sanggup menolak permintaannya.

"Papa sama Mama kamu nggak marah kamu bawa tamu tengah malam begini?"
"Nggak koq... Just relax ok, jangan tegang begitu dong.. Mama sudah tidur, papa lagi keluar kota" katanya sambil menjelaskan sepintas tentang bisnis ayahnya.

Kami berjalan melewati ruang tamunya yang luas dan memasuki satu ruangan yang juga luas dan memiliki sebuah minibar. Sepertinya itu ruang keluarga karena disitu terbentang karpet tebal dan banyak bantal buat duduk lesehan. Denita kemudian membuatkanku minum karena pembantunya sudah tidur, lalu memintaku menunggunya untuk berganti baju.

Aku duduk di ruangan besar itu sendirian sambil memandang gelas ditanganku dengan tanpa harapan. Aku merasa seperti anak kecil yang sedang disetrap gurunya. Ingin rasanya aku untuk segera menyelinap diam-diam untuk segera pulang meninggalkan rumah Denita.

Sekitar 10 menit kemudian Denita muncul dengan mengenakan t-shirt gombrong yang saking besarnya hingga terlihat seperti long dress sampai kebawah lututnya. Dalam pakaian seperti itu dan tanpa sepatu hak tinggi, tubuh Denita terlihat mungil dan dengan bandana berwarna pink yang dikenakannya, wajahnya terlihat lebih muda (tepatnya terlihat sesuai dengan usianya).

"Gimana bandana-nya lucu yah' katanya dengan suara manja.

Dia duduk disampingku, meraih remote control lalu menyalakan stereo set diruangan itu.

"Eh Mama kamu ntar bangun lho" kataku cemas.
"Nggak kok... Diatas nggak kedengeran" katanya cuek.
"Sonny kamu pulangnya nanti aja yah... temanin aku dulu," ujarnya sambil duduk lesehan disampingku. Dia menyambar gelas ditanganku dan meminumnya, "Haus banget nih"
"Kamu ngambil minum aja lagi," jawabku, "Nggak ah aku mau minum dari gelas kamu" suaranya terdengar manja.

Aku bingung melihat perubahan sikapnya yang jadi manja dan agak mesra. Aku malah cemas kalau dia sedang mempermainkan perasaanku. Kesal jadinya berada dalam posisi 'persona non grata' seperti ini. Semuanya jadi serba salah.

"Khan aku sudah bilang.. Relax aja Son.. Jangan merasa bersalah begitu dong"
"Hmm... benar lho Den.. Im very very sorry.. Aku ngerasa punya kesalahan besar sama kamu"
"Gini aja.. Jangan anggap itu kesalahan, tapi anggap aja itu hutang," katanya sambil menatap mataku dengan intens.

Aku berusaha menangkap apa yang tersembunyi dibalik bola matanya yang tampak begitu bersinar itu. Dalam hatiku aku berpikir.. Permainan apa yang sedang dia mainkan saat ini? Aku merasa kalau dia menikmati sekali melihatku dalam keadaan bersalah seperti ini. Denita kemudian mengajakku bermain scramble yang aku sambut dengan berat hati. Sampai kapan aku disini? Begitulah pikiranku saat itu.

Denita-pun rupanya sangat pintar membaca suasana dan berusaha mengalihkan perhatianku dengan membicarakan topik yang kita sama-sama senangi. Mulai dari hal-hal tentang hobi kita sampai ke curhat masalah pribadi.

"Son.. Kamu tuh cowok paling muda yang nge-date sama aku"
"Masa sih?" jawabku penasaran.
"Iya tuh.. Pacarku yang dulu-dulu selalu beda usia sampai sekitar sepuluh tahun denganku... Aku tuh nggak begitu nyambung sama teman-teman seumuranku"
"Kalau buat jalan rame-rame sih enggak masalah tapi kalau buat nge-date aku selalu sama yang lebih dewasa gitu"
"Banyak yang bilang sih karena aku kelihatan terlalu dewasa... Menurut kamu gimana Son?"
"Hmm... Iya juga sih..." aku belum sempat melanjutkan omonganku Denita langsung menyela pembicaraanku.
"Iya makanya kamu langsung ngajakin check-in yah" katanya sambil bercanda.

Aku tersenyum kikuk dan mengangguk mengiyakan dengan tersenyum. Kali ini senyumku tidak lagi kering karena Denita telah mampu 'mencairkan perasaan' bersalah dalam hatiku.

"Tapi sejak awal kamu tuh sudah kebaca koq.." katanya dengan genit.
"Kebaca apaan? Ada juga kamu tuh yang kebaca" kataku tidak mau kalah.
"Oh ya?.. Aku kebaca gimana?.. Jawab dong.. Kebaca apaan?" kata Denita.

Posisinya yang semula tengkurap menghadap ke papan scramble kini dirubah menjadi duduk bersimpuh sambil menatapku menunggu jawaban. Nah lho' pikirku.. Sekarang dia menantang lagi.

"Males jawabnya.. Ntar kepancing lagi, salah paham lagi deh" kataku (dengan jujur!).
"Koq takut sih... Siapa yang mancing, siapa yang dipancing sih?" suara Denita agak meninggi seperti penasaran dan kembali membuatku terpojok.

Dia kemudian menghampiriku hingga dekat sekali sampai kami bertatapan. Aku duduk dalam posisi bersila dengan pundaku bersandar di belakang sofa. Aku terdiam dan memutuskan untuk menantikan reaksinya. Dia tetap saja diam dan matanya yang bulat itu menatapku dengan sangat tajam. Aku membalasnya dengan tersenyum pasrah sambil mengangkat pundaku seolah aku tidak tahu jawabannya. Kulihat Senyum Denita tertahan di bibirnya, matanya masih menatapku dengan tajam seakan hendak mengintimidasi diriku.

"Ayo jawab... Koq diam sih?" katanya setengah mengancam, namun aku tahu kalau dia menahan senyum di bibirnya.

Cukup lama juga kita saling diam menunggu sampai akhirnya aku menyerah dan pasrah karena kupikir makin lama aku disitu aku hanya akan dikerjain sama dia. Aku mulai kesal dan frustasi dibuatnya.

"Eh Den, aku pulang deh.. sudah malam banget nih"

Aku sengaja menunjukan kesan ngambek dan kesal padanya. Aku dalam posisi nothing to lose, nggak ada yang lebih buruk dari kejadian tadi, so kalau dia kesal sama sikapku dan marah, ya biar sekalian aja. Aku merasa seperti layangan yang ditarik-ulur seenaknya oleh gadis berusia delapan belas tahun di depanku ini.

Aku merasa sudah cukup meladeninya dan mulai frustasi dibuatnya. (Mungkin sampai disini para pembaca sekalian mulai bosan dan frustasi membaca kisah saya ini namun coba bayangkan apabila anda yang mengalaminya sendiri, kesal dan frustasi juga khan? Sekedar baca aja sudah frustasi, apabila ngalamin sendiri... Nah begitulah kira-kira perasaan saya saat itu).

"Ups... Ada yang ngambek nih" katanya dengan girang, ekspresi wajahnya berubah menjadi riang. Tangannya menyentuh pipiku dengan mesra.
"Sonny marah yah.. Kaciaan" suaranya sengaja di-imut-imutin dan sikapnya berubah menjadi manja membuatku makin salting (kali ini nggak ada keinginan untuk salto).
"Den.. Kamu tuh senang banget ngegantungin orang yah?" kataku berusaha menghilangkan ekspresi 'bete' dari wajahku.
"Kenapa sih... Just kidding koq... Kamu ngerasa digantungin yah?.. Sorry deh Sonny"
"Jangan pulang dulu dong... kalau kamu pulang berarti kamu yang ngegantungin aku" katanya sambil tangannya menggenggam erat tanganku. Aku jadi makin bingung!
"Maksud kamu apa?"
"Maksudku tuh... Sesuatu yang ngambang dan nanggung itu nggak enak" ujar Denita sambil merebahkan dirinya disampingku.

Kepalanya dia sandarkan diatas bantal duduk.

"Jadi...?" Aku seperti menangkap maksud Denita namun karena trauma, aku tidak mau terpancing lagi.
"Jadi terserah kamu... Kalau kamu mau ngegantung dan nanggung ya pulang aja," kata Denita sambil merendahkan intonasi suaranya.

Secercah sinar terang terpancar di benakku!.. Alangkah bodohnya aku hingga baru menyadari kalau Denita sedang bermain 'tarik-ulur' denganku. Ini khan permainan kucing-kucingan standar yang seharusnya aku sadari sejak awal. Semangatku tadi keburu jatuh hingga nalarku sempat tidak berfungsi. Kini aku baru bisa mikir jernih, ngapain juga Denita menahanku di rumahnya selama ini di tengah malam begini? Karena aku yang 'lemot maka Denita-pun tampaknya kehabisan akal hingga keluarlah kata-kata terakhirnya tadi... 'kalau mau nanggung dan ngegantung ya pulang aja '

Rupanya bukan cuma aku yang frustasi tapi dia juga. Bedanya aku frustasi karena tidak paham akan 'permainan yang dia mainkan, sedangkan Denita frustasi karena termakan oleh 'permainannya sendiri. (Setiap orang memiliki semacam 'tirai' semu yang diakibatkan oleh keinginan hasratnya sendiri. 'tirai/tabir' semu itulah yang membuat seutas tambang kelihatan seperti seekor ular demikian juga sebaliknya. -baca kisah sex; a sprirtual journey).

"Jadi menurut kamu... Sebaiknya jangan dibikin nanggung yah" jawabku sambil menatapnya dengan penuh hasrat.

Denita menjawab dengan mematikan rokoknya lalu menarik tanganku hingga badanku condong ke arah tubuhnya yang terbaring disampingku. Aku segera merespon dengan mendaratkan bibirku diatas bibirnya. Hmmm.. Hangat dan begitu lembut rasanya.

'Hmmm' suara denita terdengar lirih penuh gairah.

Cukup lama gairah dan keinginan ini terpendam hingga nafsu tertahan itu bagaikan meledak ketika bibir kami bersentuhan. Lidah Denita terasa begitu lincah dan agresif merambah mulutku. Akupun membalasnya dengan mengulum lidah Denita yang 'terjebak' dalam mulutku.

'Hmmmh!!' kembali Denita bergumam tanpa arti.

Dengus nafasnya terasa di wajahku dan sepasang mata indahnya itu kini tertutup rapat hingga alisnya seperti bertemu ditengah pelipis matanya. Kini giliran lidahku merambah ke dalam mulutnya. Kusapukan lidahku di deretan gigi atasnya. Terasa tubuh Denita bergetar menahan geli yang ditimbulkan oleh permainan lidahku dalam mulutnya. Lebih dari semenit bibir kita berpagutan, sehingga begitu terpisah terasa agak 'kram (sorry aku nggak tahu kata-kata lain buat menggambarkan kondisi bibir seperti itu... Memang sih setahuku nggak ada yang namanya kram bibir, asal pembaca mengerti maksudku aja). Kami berdua mengambil nafas sejenak karena ciuman tadi betul-betul memboroskan oksigen.

"Den... Nanti ada yang bangun lho" kataku cemas kalau ibu atau orang rumahnya yang lain bangun dan memergoki kami berdua. Denita hanya menggelengkan kepalanya mengisyaratkan agar aku tidak mencemaskan hal itu.
"Dont worry.. Satu-satunya yang bangun cuma ini" ujarnya sambil mengelus 'juniorku' yang sudah dilanda ereksi.

Bola mata Denita masih tampak bersinar namun kelopak matanya sudah makin terlihat sayu karena nafsu dan kenikmatan yang dia rasakan. Aku segera mengecup lehernya dan sempat memainkan lidahku disitu. Tubuh denita mengggelinjang kegelian kala kedua tanganku menelusup di balik kaos gombrong yang dikenakannya. Rupanya dia tinggal memakai celana dalam dibalik baju kaosnya itu. Aku segera menarik celana dalamnya hingga terlepas kemudian kepalaku aku selundupkan ke balik bajunya itu dengan maksud menjelajahi bagian vital dari tubuhnya. Tiba-tiba Denita berontak dan dengan halus menepis kepalaku hingga menjauhi bagian kewanitaannya.

"Wait... Hold on.." katanya kemudian bangkit menghampiriku, "This is my place, so i wanna do it my way" katanya dengan wajah penuh nafsu.

Butir-butir keringat sudah mulai membasahi wajahnya ketika dia mulai membuka celana jeans- ku. Kemudian dia memintaku melepas sendiri celana dalamku sementara Denita duduk bersimpu di depanku sambil menatap lekat bagian vitalku bagaikan seekor elang siap menerkam mangsanya. Aku melepaskan celana dalamku dengan perlahan dibawah tatapan Denita.

Begitu celana dalamku terbuka, 'Si Junior' tanpa dikomado langsung bangkit dan berdiri tegak bagaikan seekor kobra yang siap menyengat. Denita menatap kejantananku dengan penuh nafsu.. Nafasnya terdengar memburu. Aku membelai rambut di kepalanya yang sedang menunduk menatap bagian vital-ku. Dengan lembut aku sedikit mendorong kepalanya ke arah bawah berharap Denita melakukan oral padaku. Denita kemudian menggenggam kejantananku dengan penuh perasaan. Sepertinya Denita begitu menikmati menggenggamnya dan kedua tangannya kemudian mengelus-elusnya dengan lembut dari bawah ke atas. Kurasakan pembuluh darah dalam penisku penuh sesak oleh tekanan darah yang secara otomatis 'termobilisasi ke situ'.

Sempat aku merasa nggak 'pd' mengingat Denita pernah berhubungan dengan pria-pria bule yang pastinya memiliki ukurang penis diatas ukuranku yang cuma 14 centi ini. Setelah Denita puas 'memainkan kejantananku' dia kemudian kemudian mencium leherku dan mengeluarkan lidahnya menjilati leherku mulai dari jakun, turun ke dada, ke perut, kemudian kurasakan sesuatu yang hangat dan basah menyentuh penisku.

Denita memainkan lidahnya tepat di ujung kejantananku. Memaksaku untuk mengatur nafas yang kian memburu. Sentuhan-sentuhan sporadis di ujung penisku menghasilkan perasaan geli-ngilu-nikmat yang membuat penisku terkejang-kejang hingga sedikit bergerak-gerak. Kuteruskan belaian tanganku pada rambutnya dan kemudian menggelitik bagian belakang kupingnya. Denita yang sudah gemas dengan sentuhan- sentuhan lidahnya, segera mengulum ' Si Junior ' dengan penuh nafsu. Kurasakan sentuhan lidah, bibir serta langit-langit mulutnya yang hangat dan basah betul-betul membuat urat-urat pada kejantananku berdenyut- denyut.

Denita sepertinya cukup mahir dengan mulutnya. Kadang mulutnya diam dan hanya lidahnya bergerak liar 'mempermainkan penisku dlm mulutnya, kadang lidahnya yang diam dan kepalanya naik-turun 'mengocok' kejantananku. Sebenarnya jarang sekali aku bisa mengalami ejakulasi bila sedang di-oral' seperti ini. Akan tetapi Denita dapat menemukan 'ritme' yang tepat saat memompa kejantananku sehingga akupun mengalami ejakulasi yang pertama.

Kurasakan spermaku tiga kali menyembur memenuhi mulut Denita. Denita pun dengan agresif memberikan reaksi yang menambah kenikmatanku. Saat ejakulasi, Denita makin membenamkan penisku ke dalam mulutnya lalu bersamaan dengan gerakan naik, mulutnya menyedot sperma yang memenuhi mulutnya. Itu dilakukannya berulang- ulang hingga ketika kejantananku 'terlepas' dari pagutan mulutnya, sisa- sisa sperma nyaris bersih dihisapnya.

Denita menatapku dengan tatapan liar penuh hasrat. Dia membersihkan sisa-sisa cairan kejantananku dibibirnya dengan menggunakan tangannya. Ekspresinya persis vampir yang membersihkan sisa-sisa darah korban dari mulutnya. Kemudian dia beranjak duduk di pangkuanku lalu melepaskan kaos yang dikenakannya. Kini tubuh ramping dan pucat itu terlihat tanpa selembar benangpun. Denita memang sudah tidak mengenakan bra sejak tadi. Sepasang payudaranya terlihat lumayan menyolok menghiasi postur tubuhnya yang ramping. Bentuknya benar-benar keras apalagi sudah dalam keadaan terangsang.

Puting payudaranya terlihat mengeras hingga tampak begitu kencang dan kenyal. Akupun merasakan sesuatu yang lembut, basah dan berbulu menindih kemaluanku yang masih terkulai setelah ejakulasi. Aroma tubuhnya yang mulai bermandi peluh begitu menggoda dan merangsang indra penciumanku. Dengan mesra Denita mengalungkan lengannya di pundakku sambil berbisik di telingaku.

"Kamu masih kesal.. Karena tadi aku ngerjain kamu?" suaranya terdengar lirih dengan nafas yang berat.
"Sejujurnya sih... Masih tuh" kataku balik menggodanya.
"Terus kamu nyesel jalan sama aku malam ini?" katanya sambil mulai menggoyangkan pinggulnya memancing kejantananku agar bangkit lagi.
"Hmmm sejujurnya sih... Nyesel tuh" kataku kembali menantangnya.

Tidak kuduga dalam keadaan begini Denita masih saja melakukan 'mind game-nya'. Tiba-tiba dia melepas rangkulannya dan merapatkan wajahnya ke wajahku sambil berkata...

"Kamu betul-betul nggak sopan!" Denita mengucapkan itu dengan ekspresi serius seakan dia benar-benar marah padaku.
"Memangnya kamu tuh siapa sih?... Baru pertama kali nge-date sudah berani kurang ajar ngajak check-in" Denita berkata begitu sambil mengangkat daguku dengan tangannya seperti seorang yang sedang mengancam.

Tatapan matanya terlihat angkuh dan dingin. Awalnya aku sempat sulit menerima perlakuan 'anehnya' itu namun lama-kelamaan aku mulai menikmati 'permainannya'.

"Hei.. Jawab dong kalau lagi ditanya!" katanya dengan nada suara meninggi penuh ancaman.

Ekspresinya terlihat begitu dingin membuatku teringat di kala OSPEK di kampus dulu menghadapi para senior yang suka mengintimidasi. Cuma bedanya sekarang orang yang mengintimidasiku sedang duduk dipangkuanku dengan telanjang sambil menggoyangkan pinggulnya memancing nafsuku. Terus terang aku salut dengan cara Denita yang demikian 'unik' dalam merangsang kejantananku. Ekspresi dan cara bicaranya yang dingin begitu kontradiktif dengan tubuhnya yang terasa begitu 'panas' menggeliat dengan penuh erotisme diatas pangkuanku.

"Kalau aku nggak mau jawab kamu mau apa?" kataku sambil meremas payudaranya. Kedua telapak tanganku terasa begitu 'penuh' ketika menyentuh sepasang 'bukit' indah itu. Denita Lalu meletakan kedua telapak tangannya diatas telapak tanganku yang sedang meremas payudaranya, kemudian dia menggerakan tangannya menuntun kedua telapak tanganku bergerak-gerak di atas payudaranya. Terdengar dengus nafas Denita semakin memburu ketika dia sedang 'menyentuh' payudaranya sendiri dengan menggunakan tanganku.

"Kalau kamu nggak mau jawab berarti kamu harus turuti semua perintahku," katanya tetap dengan ekspresi dinginnya.

Walau bagitu dengus nafasnya terasa makin keras menerpa wajahku dan tangannya makin liar menuntun tanganku 'menari-nari' diatas dadanya.

"Sekarang apa perintah buatku?" kataku bertanya.

Denita mendekatkan bibirnya ke bibirku seperti hendak menciumku, namun ketika aku bereaksi hendak mengulum bibirnya yang saat itu tinggal berjarak sekitar 1 centimeter saja, dia berhenti lalu perlahan membuka mulutnya. Wangi nafasnya tercium begitu nyata di depan hidungku dan memang Denita dengan sengaja membuka mulut lalu beberapa kali bernafas dengan berat di depan mulutku. Kemudian dia berkata dengan suara yang bercampur desah nafas dan nafsu...

"Perintah pertama buat kamu adalah... Keluarin dompet kamu, keluarin kondomnya dan cepat dipake soalnya punya kamu sekarang terasa banget sudah tegang lagi!" Denita mengakhiri perkataannya dengan senyuman hangat dan mesra.

Sepertinya dia sudah tidak memerankan peran 'antagonis' tadi karena sudah berhasil 'membangunkan' kembali 'Juniorku'. Aku segera mengambil Durex Minty dari dompetku dengan buru-buru. Denita agak mundur sedikit memberikan ruang buatku 'menyarungkan' kejantananku pada 'karet' itu.

"Buruan atuh" kata Denita tidak sabar kali ini dengan logat sundanya.

Segera setelah 'Si Junior' terbungkus dengan aman, Denita segera mengambil alih 'tongkat estafet.. Ups salah.. 'tongkat kenikmatan' itu. Dituntunnya hingga tepat di bibir kewanitannya yang telah basah oleh cairan kenikmatan yang keluar dari liang senggamanya. Sebelum dia menuntunku melakukan penetrasi, Denita masih sempat memperlihatkan rasa humornya. Dia menggesekan jari tengah dan telunjuknya pada bibir kewanitannya, lalu kedua jari yang sudah basah oleh cairan yang keluar dari 'daerah rahasianya' itu didekatkan ke wajahku hingga hidungku dapat mencium aroma 'klasik' khas kewanitaannya itu. Kemudian dia menghisap jari telunjuknya dengan penuh 'penghayatan' setelah itu dia menyodorkan jari tengahnya itu agar kuhisap pula.

"Cheeers... This is for good luck" demikian katanya saat aku mengulum jari tengahnya.

Denita menggigit bibirnya sendiri dan alis sebelah kirinya terangkat menyaksikan (dan merasakan) jari tengahnya kukulum dengan penuh nafsu. Setelah itu kami berdua berciuman singkat merasakan aroma kewanitaan Denita yang masih menempel di lidah kami berdua. Baru setelah itu dia mengarahkan 'si Junior' hingga ke mulut kewanitaannya, lalu perlahan menurunkan tubuhnya hingga kejantananku 'tertelan' oleh liang kenikmatannya yang demikian hangat, yang makin ke dalam terasa berulir. Selanjutnya dalam waktu sekitar 7-8 menit kedepan kami berdua melakukan intercourse dengan intensitas tinggi dan penuh hasrat.

Tubuh Denita yang ramping terlihat bagai seekor kucing liar menggelinjang diatas pangkuanku. Aku sendiri sangat 'terhibur' dengan sepasang buah dada yang demikian ranum yang senantiasa bergetar penuh vibrasi seiring dengan goyangan tubuh Denita. Denita rupanya punya satu kebiasaan lain yaitu dia hanya mau berhubungan seks dengan posisi tubuhnya diatas. Dia sempat menolak ketika aku memintanya berganti posisi agar aku diatas ataupun posisi 'backseat'. Dia tidak sempat menjelaskan alasannya namun bagiku tidak menjadi masalah berarti karena Denita benar-benar ahli dalam posisinya itu. Selain dia mampu bergerak begitu erotis, dia juga pintar dalam menyesuaikan 'ritmenya dengan denyutan ritme kejantananku sehingga kita berdua mencapai puncak dalam waktu yang tidak jauh berbeda. Denita malah mendahuluiku mengalami orgasme.

Tubuhnya terasa mengejang dan dia memeluku erat sekali dan disaat yang sama, kewanitaannya seperti berdenyut makin kuat dan terasa memijit-mijit batang kelaminku didalamnya. Terlihat sekitar tiga kali gelombang kenikmatan akibat orgasme itu malandanya. Wajahnya yang putih pucat bersemu merah ketika kenikmatan itu dirasakannya. Setelah orgasmenya berlalu wajahnya kembali pucat dan malah makin pucat dibanding sebelumnya. Hebatnya dia tetap tidak mengendurkan gerakan pinggulnya hingga aku mengalami ejakulasi yang kedua kalinya. Kami berdua terdiam cukup lama dengan posisi itu, sama-sama berusaha menormalkan kembali fungsi-fungsi tubuh yang sebelumnya terpacu dalam gelombang kenikmatan itu.

Setelah itu, kami sama-sama menghisap sebatang rokok sambil duduk di sofa dan Denita meletakan kepalanya di dadaku. Kami seperti sepasang kekasih yang saling menyentuh, membelai tanpa mengucap sepatah katapun. Aku mengatakan kalau semua itu hanyalah 'Lust' atau suatu dorongan hasrat seksual yang impulsif dan sesaat tanpa adanya keinginan untuk memiliki atau menguasai dalam jangka panjang. Aku kemudian menambahkan kalau aku berharap bahwa 'Lust' itu akan selalu ada disaat kapanpun kita berjumpa lagi.

"Apa benar kamu tuh... Mau"

E N D